Label

Minggu, 22 September 2013

Puisi-puisi dengan tema nasionalis (umum)

Cermin Hidup

Aku adalah kamu
Jumpa setiap waktu

Aku adalah dia
Tak lupa saling sapa

Aku adalah mereka
Bersama menjalin rasa

Aku adalah kita
Berjuang tanpa meluka

Aku adalah kami
Kisah yang akan abadi
           
Jakarta, 2009

Untuk Merdeka

Biar nurani datang mengilhami
Berteriak lantang sepenuh jiwa
Meninju busuknya nafsu kuasa
Merayu lewat hati untuk semua
Pada keras laju merahnya darah
Sebelum berubah menjadi nanah
Serta membusuk di dalam tanah

Jakarta, 2009

Hilang

Satu persatu hilang
Terbang tanpa sayap
redup bintang dibuai lelap
Bulan merintih di ujung gelap

Satu persatu hilang
Diam di pematang awan
Berdoa meminta kepastian
Sebelum samudera menelan

Satu persatu hilang
Cahaya semoga tersisa
Hadapi ombak yang menerpa
Sepi melarung serta segala derita

Jakarta, 2011

Galau

Sial! Galau ternyata peyakit yang mematikan
Anak muda sibuk menipu harga diri
Menyanyikan derita sepanjang hari
Berani terjun dari gedung yang tinggi
Menangis di jembatan lalu terjun ke kali
Di tali jemuran sangkutkan tubuh sendiri

Sial! Galau pun menyerang negeri ini
Berhasil bertengger di kuris demokrasi
Seragam berpangkat menjadi  pembungkus extasi
Rok mini menjadi berita paling terkini
Menutupi kursi dan meja berharga tinggi
Dari perserikatan pahlawan korupsi
Mengetuk palu serahkan pencuri terasi

Sila lagi! Aku pun tak luput diserang galau
Salah apa aku mencintai negeri ini

Jakarta, 2011

10 November

Bukan hanya hari ini
Pahlawan lahir dari rahim ibu pertiwi
Sepanjang detik sebelum mati
Berjuang tanpa peduli diri sendiri

Jakarta, 2011

Merdeka

Merdeka!
Teriakku lantang dalam dada
Kepal tekad tinju busuk nafsu jiwa

Tapi tidak merdeka
Jika hanya kata dan janji manis dalam doa
Tunjukkan munafikku karena tak ada usaha

Merdeka adalah sifat
Membebani diri untuk mereka
Hidup dan mati sama tinggalkan cinta

Jakarta, 2012

Bapak Untuk Kami
kepada bapak-bapak kebangsaan

Kami butuh bapak, bukan sekedar pemimpin
Menyempatkan merawat kami ketika sakit
Mengantarkan kami untuk diperiksa
Menunggui sampai kami sembuh

Kami butuh bapak, bukan sekedar penguasa
Memberi kami makan saat kelaparan
Membagikan bebungkus harapan
Menggapai mimpi masa depan

Kami butuh bapak, bukan sekedar bapak
Menuntum kami untuk senantiasa belajar
Menyelesaikan masalah dengan benar
Dan mengeluh adalah kebodohan

Kami butuh bapak, bukan sekedar suami
Biasa mengiba di pangkuan ibu pertiwi
Mengingkari kibaran janji
Pulang tanpa harga diri

kami butuh bapak, laki-laki yang pemberani
Membebankan diri untuk kemajuan negeri
Menjaga martabat keluarga bangsa
Memakmurkan tanah surga kita

Jakarta, 2012

Kartini

Kartini tak perlu berdan ekstrem
Perut slim berbusana legging
pamer paha juga dada

Kartini seorang wanita
Melahirkan
Membesarkan
Membenarkan
Membimbing
Mengerti hidup dengan cinta
Menjaga seutuhnya
Sesuai kodratnya
seperti bumi yang tak berhenti menumbuhkan padi

Jakarta, 2012

Timur Tengah

Kini yang terjadi mereka mengaku pahlawan dengn seragam dan senjata yang tergenggam. Komando busuk melumuti setiap satu amunisi yang berharga tinggi dari nyawa yang tak bisa dibeli. Taring pelatuk granat serta lebih senjata lebih ganas dari naga dan memangsa mereka yang tak berdosa. Debu menyatu di wajah saudara yang disayat duri angkara dari serakah dan keangkuhannya.

Kini banyak tumbuh bunga. Si kecil terus berlari, lempar batu tanpa sembunyi menerjang peluru. Hadang tentara gila yang tak pernah lepas senjata. Deru angin kabarkan keadaan, dan doa dari segala penjuru dunia.

Jakarta, 2012

Hujan Emas
           
Sekuat tenaga kami berjalan
Mulai subuh yang masih perawan
Turun menari bak gayung belum isi
Jatuh pecah keras suara kami
Apalah jaga tanah
Merah putih masih berdarah
           
Hitam pekat wajah kami
Sejajar merapat dengan dinding
Harap menjauh hujan batu
Kami murung bersih dalam senyum
Gapai mimpi belum arti
Jangan sampai mati dalam berdiri
           
Hujan emas takkan datang
Biar lumpur telah meluap
Mengubur keping-keping harap
Hanya janji yang terkuak
Lalu menyampah di ujung mata
Membuat luka dan derita

Mungkin semua akan datang
Andai mau menggali ke dalam hati
Pesan dari llahi selalu mengisi

Jakarta,  2012

Aku Kira
untuk yang tidak sekedar di jalanan

Aku kira bukan orang yang terbuang karena kegilaan
Tidak juga menghilang dalam kemajuan pembodohan
Hanya menyingkir dari kepentingan kekejaman
Terus memilih percaya pada kebenaran
Membayar kekecewaan atas hutang ketidakmampuan
Memasungkan perasaan untuk kepedulian
Memperkaya dengan kebersamaan di setiap kesusahan
Tak akan bisa dirayu degan uang dan jabatan
Ucapan sayang juga tak dapat membuat melayang
Bahkan kebencian tak bisa menggoyahkan
Untuk perjuangan diri dan kemerdekaan hati
Selebihnya negeri

Jakarta, 2012

Sekolah

Kursi bersijajar rapi
Papan hanya ada hitam
Sedang ruang ini adalah janji
Bagi ilmu tentang kalam

Banyak yang menagis
Dikuliti harga dirinya
Tanpa isak hanya tragis
Dicuri atas nama jasa

Mahal tak bisa ditawar
Menangis sambil berlalu
Kalah yang tak tahu benar
Hidup selalu butuh malu

Jakarta, 2012

Kita Berbeda

Kita berbeda memang
Atas semua luka-luka
Jauh langit juga mimpi
Namun dekat rasa di hati
Pasti berubah tiap waktu
Cerita tangis pasti berlalu
Lepas terbang tinggi garuda
Lebih indah juga sempurna
Beda bahasa beda suku
Juga budaya serta agama
Tapi sama tanah kita tercinta
Di atas langit kita satu
Buang benci hapus luka
Tiada ragu bunuh dendam
Lalu kita jemput bersama
Satu Nusa satu bangsa*

*Judl lagu nasional
Jakarta, 2012

Rohingya

Tahukah kau jiwa
Enam ribu lebih saudara kita
Dibunuh dengan begitu kejinya
Tak ada pembelaan di sana

Wanita-wanita diperkosa
Anak-anak tak jadi pinak
Pedih mata dunia menatapnya
Tiada layak tempat sementara

Lari usaha untuk selamatkan segala
Namun panas pasir menyemat
Hadiah tembus batas keramat
Tak ada lagi gemuruh ombak

Tuhan...
Berapa lagi jiwa pilihan
Untuk bukti sebuah keagungan
Mencintaimu adalah keterangisan

Adalah mereka yang pergi
Akan menjadi kisah abadi
Bersanding kekasih yang suci
Bersama dalam ruang tinggi

Lalu kami yang di sini
Adadah tiada lupa pada arti
Doa adalah kekuatan kami
Yang jaun dan tak memiliki
"Doa sauadar yang jauh pasti dikabulkan!"
Apakah benar Tuhan?
Jika tak ada yang mengerti
Sebesar kekuata hati
Yang Engkau isi cinta sejati

Hanya air bening mengalir
Dari mata yang menatap jauh
Tersesat di kedalaman hati
Semoga binasa yang Engkau benci

Jakarta, 2012

Yang Ditiadakan Perubahan Zaman
Untuk Bapak Kami, Mohammad Hatta

Cukup jauh kami berjalan, dari masa ke masa
Arah tujuan semakin samar oleh kemajuan yang tiada benar
Baik hanya untuk telinga saja, selebihnya tawa yang berkembang
Dan jutaan bulir air mata menjadi warna yang nyata bagi samudera
Kami yang dipasung rindu dan dijajah mimpi
Berduyun duyun dari sawah dan ladang
Berjuang membebaskan diri dari kerakusan dan keserakahan
Kami kehilangan pemimpin yang sederhana dan bijaksana
Di mana kami bisa menemukannya?
Engkau telah ditiadakan perubahan zaman
Diganti dengan kebebasan dan kebodohan
Di televisi sejarahmu ditelan bisingnya musik dan komedi
Di buku wajahmu diganti dengan kisah ciuman mesra dua sejoli
Di podium suaramu diganti dengan ceramah janji dan obral koalisi
Di majelis pemikiranmu dihapus dengan undang-undang berkompetensi penuh sangsi
Di negeri ini orang orang sepertimu telah lama mati
Lahir pun entah kemana, kalah dan diasingkan dengan selimut fitnah
Kawat kawat berduri sejajar memotong mimpi kami
Oh engkau bapak kami: Mohammad Hatta.
Yang terlupakan dan ditiadakan sejarah baru yang tiada punyai arti
Ditinggalkan makna sumpah janji dan kejujuran tinggi dari kepemimpinan negeri ini
Di hati kami masih ada ruang yang tak akan terganti
Bagi yang sadar dan paham makna demokrasi
Baik sistem pemerintahan yang pasti, di mana rakyat turut berpartisipasi
Mewujudkan mimpi serta arah bangsa yang telah tenggelam di jurang kenistaan
Persamaan hak dan kewajiban adalah utama
Terlebih perlakuan untuk kami; masyarakat yang rindu jiwa pahlawan sejati

Jakarta, 2012

Hari Bahagia

Di hari ini katanya harus bahagia
Setiap rumah wajib mengibarkan bendera
Sebagai rasa hormat kepada pahlawan

Di lapangan katanya ada upacara bendera
Anak sekolah wajib mengikutinya
Salah satu cara belajar menjadi pejuang

Di mana-mana katanya ada banyak lomba
Setiap orang bersemangat mengikutinya
Sebagai rasa syukur dengan membagikan hadiah

Di penjara juga banyak yang berbahagia
Banyak narapidana mendapatkan remisi
Hadiah langka walau telah korupsi

Di atas meja semua terencana
Setiap pengumpat dapatkan bahagiannya
Penghiatan yang dipimpin penguasa

Di dalam kuburnya para pahlawan tertawa
Setiap malaikat melebarkan sayapnya
Mengadukan segala iba

Pada Tuhan malaikat bertanya:
“Kapan hari merdeka benar nyata?”
Malaikat kembali dengan air mata
Mengibarkan segala dan berkata
“Bukan hari ini.”
Pahlawan pun menangis seketika

Jakarta, 2012

Untuk Langit Yang Sama

Tak perlu bertanya siapa dan apa itu penjajah
Tidakkah merasa bahwa kita bukan hanya dijajah?
Tapi juga penjajah?
Lihat saja hati
Benarkah sudah penuh nilai arti
Berbagi dan menghormati sesiapa
Tak perlu bertanya dari mana dan
Apa punya agama

Tanyakan saja pada langit:
Putih dan merah untuk siapa?
Biru—hitam—jingga pun tercipta
Bukankah untuk kita?
Kalau tiada rupa langit ini
Apa malaikat enggan turun bersama
Atau barangkali setan yang bersemayam
Di kepala juga belum pergi

Jangan pernah meludahi tanah suci
Tempat terpendamnya sejuta titah
Bukan terpendamnya pejuang
Atau tulang-belulang para bangsawan
Juga bangkai perompak kedamaian

Tak perlu darah biru
Pengemis pun punya kisah kemampuan
Sama berharap di kolong langit
Membelah malam gulita dan
Bersandar di tiang menyangga cinta
Tak perlu lihat langkah
Bayang sama datang dari cahaya
Kapan kita ikuti dan hapus nafsu
Mari buka saja lembaran hati
Ciptakan perahu menyusuri rindu

Sepanjang pantai terbentang mimpi
Darat bersambung rekatkan janji
Di bawah langit kita cari
Wujudkan semua untuk
Indonesia Raya

Jakarta, 2012

September Tahun Lalu
           
Waktu dan senjata semakin jelas sama
Detik berdetak menghantui seisi jiwa
Wajah bergambar memikul ketakutan
Manusia menjadi bukan manusia
Terbunuh jiwa dan pikiranya
Nurani terpasung oleh nafsu
Merah darah melukiskan tanah tercinta
Mata air mengalir pada nafas cinta
Menyapu jejak gerak langkah dusta

Jauh september tahun yang lalu
Membekas pada daun ingatan
Kala selongsong peluru menahan doa
Kala tajamnya besi merampas asa
Meneteskan darah di waktu itu
Jutaan orang berkumpul bergerak memecah langit
Mengukir cahaya pada kepingan persaudaraan
Mengantarkan pada pintu cinta
Berharap awan merah temani putihnya cahaya
Tapi september masih datang
Berbeda jiwa dan cinta
Harap nafas cinta tetap menyala
Membawa perubahan  pada tanah air yang tercinta

Jakarta, 2012

Kami Dari Gunung
           
Kami yang hidup di gunung-gunung
Terbang dibawa angin bercabang
Setelah diukur berapa ruas batang
Sampailah berita kepada penebang
           
Kami yang hidup di gunung-gunung
Tidak puas dikupas bayang-bayang
Jika datang tanah kering kerontang
Tidak suka hanya dipanggil sayang
           
Kami yang datang dari gunung-gunung
Jangan pernah engkau coba hadang
Tidaklah  kami pergi hendak berperang
Kami hanya ingin antarkan ribuan layang
Engkaulah si penanggung
Pantas memang digulung
Dan engkaulah si penebang
Yang merebut kami punya calung
           
Jakarta, 2012

Sudah nasib

Kita dipegang haluan nasib
Siapa punya uang itulah raja
Hukum dimakan sesukanya
Penjara dibuat parkir mobilnya

Kita dinaikkan ke bahtera
Dijungkirbalikkan gelombang
Siapa punya uang itulah raja
Samudera dibuat ladang bunganya

Kita diterbangkan dengan pesawat
Dijatuhkan di bawah gunung
Siapa punya kuasa itulah dewa
Berkedip sekali semua tunduk padanya

Jakarta, 2012

Kita Orang Indonesia

Kita adalah sepasang sayap
Bersatu pada sebuah harap
Jauh dekat tetap saling hadap

Kita adalah sepasang kaki
Berjalan kita sepanjang hari
Jatuh bangun tembus peri

Kita adalah orang Indonesia
Tak perlu mencari nafkah ke lain negara
Di sini kita bisa saling bagi makan bersama

Sebab tak bisa kujalani sendiri
Maka ijinkanlah lubawa kau berlari
Temui segala lain dari negeri ini

Mari lihat bawah jembatan
Tepi sungai jangan dilewatkan
Juga yang di emper pertokoan

Jika kau rasa bosan
Apalagi memang tak sejalan
Siap kuterluka saat dilupakan

Jakarta, 2012

Anak Buruh

Anak buruh menangis sedih
Meratap di bawah kaki tirani
Keringat hilang dan kering air matanya
Sementara kita sibuk tertawa

Pesangon ayahnya tak mencukupi
Seakan tak berarti jerihnya
Wangi semangat mati bersama mimpi
Sementara kita asyik tersenyum

Anak buruh berdarah
Putus sekolah dan dicuri masa depannya
Terkutuklah sesiapa saja
Yang menari di atas deritanya

Anak ini mengis sedih
Menuntut dalam berat neraca
Pisau nasib potong lidahnya

Jakarta, 2012

Bukan Sampah

Dua anak dalam gerobak
Laki-laki tua menarik
Perempuan tuamendorong
Aku kejar dengan penuh tanya
Jawab jadi air mata

Kampung jauh tanpa saudara
Harta anak tiga
Kota gagah adalah luka
Sampah jadi nasi
Sekolah musti putus satu
Ganti baju kalah malu
Emper toko taman dunia
Jalan hidup memang gila

Bekasi, 2012

Sejak Lama

Ini kampung tempat tangis awalku pada tengah malam
Tak tahu bagaimana kini kuharus menghapus jerit
Hati terpaut tanpa tahu apa laku tubuh yang mampu
Kembalikan tawa dan bahagia menatap embun malam
Dinikmati gelap menelan suka menggunungkan cita
Pada kertas dari wajah-wajah yang telah ditelan waktu

Tak ada lagi guna siapa keturunan siapa
Tapi apa untuk siapa lalu apa manfaatnya
Kuatkah?Top of Form
Ditelan melarat memasuki jerat piutang pun aku tak mau
Hanya tangan sejauh mana merangkai bunga dalam taman
Mimpi dan bulan melawan terik menautkan tawar luka
Dibakar dilempar ke dalam jalan yang bertepian mata

Oh tanahku, lahir aku di atas cawan harapan
Mendaki pikir melewati hamparan pasir perasaan
Debu be
rterbangan milik siapa tak kukenal dan berpura-pura
Oh biar, aku ditawan sayap yang berkembang
Dibawa ke tinggi tanpa lupa ngarai sepanjang gunung
Temukan makna atas tarian dari sepasang sayap
Mati di sini dikubur pedih yang tak terasa

Banjarnegara, 2012

Gunung Sari

Priayi lahir di sini. Juga kiai!
Raja si pendiri
Muda mudi jadi bestari
Tua tinggal pun menari
Lahirku juga disini
Cerita indah mengalir darah
Perjuangan merajah ari
Cipta karya tinggi jadi mimpi

Lebih dari ini:
Jiwa-jiwa suci
Bernyanyi dimalam sunyi
Basah embun dalam hati
Sublim!

Banjarnegara, 2012

Dalam Bus Ekonomi

Sawah bukan
Lantai becek sebab hujan
Ramai orang mendongeng libur
Temu saudara main bersama
Di sawah atau di lereng gunung
Jernih sungai mandi pun jadi
Anak-anak tersenyum senang
Belum sampai depan kaca tawarkan luka
Gerah dan keringat usir nikmat
Mulut supir bak kereta
Asap dan suara sama tinggi
Kernet masih sibuk cari mangsa
Siapa masuk berdiri bisa
Bukan apa urusan peduli
Salah sendiri masuk Jakarta
Pulang demi keluarga rela hati
Tanpa uang mana bisa dunia dibeli!

Bekasi, 2013

BKT Pukul 5 Sore
kepada pengendara sepeda motor

Telah dibaca
Terpampang tinggi
Papan tancap berhati
Tapi masih kau tak peduli

Sudah lama didengar
Tentu tahu sudah dipagar
Untuk sepeda juga lari pagi
Tapi roda motormu terus meggila;
Rusaklah taman tepi jalan ini!

Jakarta, 2013

Sabtu, 13 Juli 2013

Senin, 17 Juni 2013

Futsal Bisa Menjaga Silaturahmi

Rindu telah menjadi adat bagi seorang perantau. Meski sama-sama merantau di Jakarta tapi aku sangat rindu dengan teman-teman sekampungku. Apalagi aku tidak memiliki sepeda motor, sehingga aku tidak bisa datang ke tempat mereka secera bergilir, kapan saja. Malam hari saat selesai kerja atau siang hari jika sedang libur kerja. Sayangnya, kerjaku tidak punya hari pasti libur seperti hari Minggu atau tanggal merah (libur nasional). Ini sudah menjadi perjanjian antara aku dengan majikanku saat sebelum aku mulai masuk kerja. Bahkan setiap hari libur tanggal 1 Januari pada tahun baru aku selalu tidak bisa libur, aku harus mengalah dengan pembantu. Aku baru bisa libur tanggal dua, sehingga aku selalu kehilangan momen kebahagian bersama teman-temanku yang mengadakan kegiaatan atau sebuah pertemuan di salah satu tempat temanku tinggal atau di tempat wisata.

Aku menjadi tukang kebun menggantikan temanku. Meski disebut tukang kebun, tetapi menjaga rumah majikan juga salah satu tugas utamaku. Sehingga keluar malam tidak boleh lewat pukul sepuluh, jadi tidak bisa menginap saat main ke kontrakan teman. Kalau yang jaraknya jauh, sudah pasti tidak akan cukup waktu untuk perjalanan, main (silaturahmi), dan kembali pulang ke tempatku. Kalau pun dapat ijin libur, tetap saja tugas pagi harus dikerjakan. Dari mencuci mobil, menyiram taman, juga menyapu dan mengepel rumah. Intinya waktu libur hanya sebentar. Habis di perjalanan, menunggu angkutan umum dan pasti terjebak macet.

Aku masih ingat, kebanyakan teman-temanku punya hobi bersepak bola. Suatu hari aku pernah mengundang mereka untuk melawan tim temanku yang lain desa dan tinggalnya dekat dengan rumah majikanku. Aku bergabung—belajar bersamanya setiap Minggu sore pukul lima. Teman-teman sekampungku pun datang. Aku belajar dari sini, aku mencari tempat futsal yang dekat dengan tempatku bekerja. Alhamdulillah ada. Aku langsung menyewa satu jam untuk Minggu malam, pukul delapan sampai pukul sembilan. Aku memilih Minggu malam karena pada hari Minggu pasti teman-teman sekampungku libur, tidak begitu lelah karena pulang kerja seperti hari lainnya. Selain bermain futsal pasti aku akan mendapatkan berita atau kabar lainya yang tidak aku tahu karena kehilangan kontak. Aku langsung mengabari mereka, satu persatu, juga menyuruh mereka untuk mengabari teman yang lainnya.

Pada awalnya hanya bererapa orang saja yang mau datang. Sampai-sampai mereka (yang datang dan ikut bermain futsal) menjadi ogah-ogahan. Apalagi jatuhnya iuran sewa lapangan menjadi berat. Tapi karena ada yang tidak apatis, mau dan mengerti apa maksudku menyewa lapangan futsal, melakukan kegiatan yang bisa mendekatkan dan menyatukan—seperti tujuan dalam pertandingan futsal—kerjasama tim. Bahkan lebih dari itu. Setiap teman yang datang dari tempat yang berbeda selalu membawa kabar berita atau informasi yang berbeda pula. Seperti kabar adanya lowongan kerja. Bercanda sudah pasti. Tertawa mendengar kejadian-kejadian lucu yang belum pernah didengar sebelumnya, mengingat cerita masa kecil atau semasa bersama di kampung.

Aku, selaku penggagas, maka aku harus siap jika iuran sewa lapangan. Ini bukan resiko, melainkan pengorbanan. Dan akhirnya, semua itu benar-benar terwujud. Aku sangat bahagia, walau terkadang semua teman-teman sekampungku tidak bisa datang semua bersamaan. Aku juga tahu kalau mereka juga punya kepentingan atau kegiatan lainnya. Walau Minggu malam sekarang datang, kemudian Minggu malam selanjutnya tidak, atau bahkan sampai dua-tiga kali, tetapi setidaknya masih ada kontak langsung selain lewat telepon dan media sosial. Dengan futsal silaturahmi tetap terjaga.

Rabu, 05 Juni 2013

Nama Untuk Anak Pertamaku (Laki-laki)

Aku sangat bahagia. Telah lahir anak pertamaku, laki-laki. Ucapan selamat dari kerabat, sahabat, dan teman bisnis pun membuat aku seperti berada di surga, kebahagian yang tidak pernah aku alami sebelumnya. Kemana mataku memandang, cahaya tidak lari dan membuat segala ada jadi tersenyum. Kemana kakiku melangkah, angin meniupkan gita cinta. Merdu. Syahdu.
Kudekati istriku yang masih terbaring lemas di kamar persalinan. Sementara anakku sedang dimandikan oleh bidan. Dengan mesra aku berbisik kepada wanita yang telah menjadi pahlawan untuk satu nyawa cinta.
“Aku sudah punya siapkan nama untuk anak kita.”
“Siapa, Mas?” tanya istriku senang.
“Mohammad Hatta.”
“Kenapa harus Mohammad Hatta!? Kenapa tidak David Beckam, Ronaldo atau Messi, pemain sepak bola yang ganteng dan hebat? Atau Rossi, Pedrossa, Lorenzo—pembalap yang tangguh? Atau Romeo−kisahnya yang melegenda? Atau Choi Siwon, penyanyi pop Korea yang lagi populer? Atau yang lain—yang lebih keren!? Seperti Jon Bonjovi, rocker yang punya suara khas?” protes istriku sampai tidak mengambil napas jeda.
Aku bingung. Mulutku terasa pahit. Aku seperti berada hutan yang tengah kebakaran. Awan hitam tebal menyelimuti langit-langit hatiku, goncangan besar terasa di dalam dada, runtuhlah pasak mimpi yang kumiliki, seketika.
Aku berjalan keluar, lalu duduk di bangku bersama kedua mertuaku.
“Anakmu mau kamu kasih nama siapa?” tanya ibu mertuaku.
“Kalau kamu belum punya, aku ada nama yang bagus.” bapak mertua menyela.
“Mohammad Hatta.” jawabku tanpa memandang wajahnya.
“Apa kamu tidak salah? Kamu mau anakkmu nanti kalau sudah besar jadi seorang politikus? Aduh!” bapak mertua menepuk jidatnya, “Tidak ada nama lain yang lebih bagus lagi memangnya? Kenapa tidak kasih nama yang mirip ustad atau kyai saja...”
“Halah, bapak ini, mau ustad mau kyai sama saja kalau ujung-ujungnya cari istri muda. Kasih nama anak itu yang keren, biar jadi orang yang terkenal!” ibu mertuaku memberi usul.
Mereka pun mulai berdebat. Sama tidak mau kalah. Bahkan sidang DPR pun kalah ramai. Sementara aku hanya menunduk dan terdiam.
Kini aku seperti berada di tengah peperangan. Suara ledakan tiada henti saling bersahutan adu kesaksian, pendapat, dan harapan. Bapak mertuaku menerangkan semua yang ia ketahui, bahwa poligami itu tidaklah dosa. Ustad atau kyai juga sama-sama manusia. Ada yang benar-benar hidupnya ia serahkan untuk kemaslahatan umat, ada pula yang hanya sekedar cari nama. Ingin tenar dan disanjung-sanjung banyak orang. Kalau berpapasan di tengah jalan maunya ditegur lebih dulu. Mengejar dunia saja. Sementara Ibu mertuaku masih kukuh seperti kebanyakan perempuan yang lainnya, tidak mau dipoligami.
Ah, mereka terlalu sibuk dengan urusan yang susah dicerna jika tidak mau membuka logika. Bahkan terkadang logika pun tak bisa menyelesaikannya. Kalau hati dan pikiran tiada benar mau mengerti, beginilah jadinya. Tak ada selesainya, bisa dibawa ke mana-mana. Bisa-bisa kamar tak ubahnya penjara.
“Jadi siapa nama yang pas?” tanya Bapak mertua ke ibu mertua, lagi.
"Tadi kan sudah disebutkan!"
"Jangan yang itu."
"Bapak ini bagaimana? Minta pendapat tapi tidak mau mendengar!"
"Sama ibu juga begitu."
Akhirnya keduanya sama-sama diam.
Kini peperangan mulai reda. Mereka merasa aneh. Menatap aku hanya terdiam tertunduk. Membungkuk dalam pangkuan lutut yang tak lagi kuat untuk berlari meneriakkan gaung yang tercekit napas.
"Tadi sudah banyak nama-nama yang disebutkan. Menurutmu, siapa nama yang pas?" tanya bapak mertua dengan menepuk pundakku.
“Mohammad Hatta...”
“Ganti nama lain!” potongnya dengan tegas, tak membiarkan aku menyelesaikan nama yang kusebutkan. Pecinya pun hampir terjatuh karena kepalanya mendongak terlalu cepat.
“Memangnya seperti apa harapan cucu Bapak, kelak?”
“Intinya, aku ingin cucuku menjadi orang yang berguna bagi orang banyak juga agama, tentunya.”
“Kalau begitu jadi pengusaha saja, banyak harta dan bisa sedekah yang banyak.” potong Ibu mertua segera.
Aku jadi berpikir, jangan-jangan ibu martua menyetujuiku menikahi anak gadisnya hanya karena aku seorang pengusaha. Ya, walau hanya pengusaha batik yang terkadang ada naik turunnya.
Reflek, bapak mertua menatap istrinya yang duduk di sebelah kanannya. “Ibu ini, sukanya main potong. Dengarkan dulu kalau bapak mau bicara, tunggu sampai selesai.” balik menatapku yang duduk di sebelah kirinya. “Bapak ini lahir duluan daripada kamu...”
Aku menelan ludah.
“Bapak juga tahu sejarah pemimpin negeri ini. Termasuk Mohammad Hatta yang kamu sebutkan, wakil presiden yang pertama itu lahir dari keluarga ulama yang terkemuka, banyak pula jasanya bagi bangsa ini, tapi...”
“Tapi tidak mau kerja di perusahaan, makanya tidak bisa membeli sepatu Bally−idamannya itu. Bahkan sampai matinya pun tidak bisa membahagiakan istrinya yang ingin memiliki mesin jahit...” lagi-lagi ibu mertua menyela.
“Ibu ini, dengarkan bapak bicara dulu kenapa?”
“Memang begitu kenyataannya, bukan!?”
“Itu karena ia mau hidup sederhana, tidak mau merepotkan orang lain.”
“Kalau sederhana mana bisa membantu orang lain?”
“Bisa. Dengan ilmu, pemikiran dan kepandaiannya. Kalau jadi pejabat ya dengan kebijakannya.”
“Memang apa jasanya, Pak?”
“Salah satunya ya sebagai pelopor koperasi di negeri kita ini. Pemikirannya karena untuk menjaga rakyat agar tetap bisa bertahan dari perekonomian yang banyak menanggung resiko dari kebijakan pemerintah yang suka salah kaprah.”
“Iya, seperti pejabat sekarang yang banyak bicara dan banyak nipu rakyat−maksud bapak begitu?”
“Ah, ibu ini! Sukanya nonton berita, coba baca koran seperti bapak setiap pagi, jadi lebih lengkap pengetahuannya. Atau baca buku-bukunya.” wajahnya memberi isyarat, dipalingkan padaku yang punya beberapa buku sejarah.
“Sudah tua masih saja disuruh baca buku.” jawab ibu mertua dengan membetulkan posisi kaca matanya yang besar.
Bapak mertua jadi tersenyum kecil, dibungkus tawa yang tak dikeluarkan—melihat tingkah istrinya kalau sedikit marah.
Aku yakin kalau kedua mertuaku ini pasti tahu banyak tentang cerita ataupun sejarah Mohammad Hatta yang ingin aku ukirkan namanya sebagai doa untuk anakku yang baru lahir ini. Seperti nama bandara sebagai penghormatan atas jasa-jasanya bagi negeri ini. Tapi entah, apakah mereka juga tahu kalau namanya juga dipakai untuk nama jalan di negara Belanda, dengan nama Mohammed Hattastraat.
Aku akui, semua ini tidak lepas dari rasa rinduku pada negeri yang tercinta ini. Semoga ada pemimpin yang berintregitas tinggi—lagi. Aku pernah ingin menyalonkan diri sebagai anggota DPD di kotaku Pekalongan. Tapi, sayangnya aku tersendat oleh persyaratan yang diajukan partai yang akan mengusungku. Tak apalah, barangkali memang bukan jodohku. Sepertinya aku lebih berjodoh dengan usahaku yang belum begitu besar ini. Banyak persaingan yang cukup ketat pula, layaknya persaingan untuk bisa menjabat sebagai pejabat daerah ataupun pejabat tinggi. Kadang samapi ada tak-tik yang salah, tidak seharusnya dipakai.
Bidan yang membatu istriku dalam proses persalinan sudah kembali. Bayi laki-laki yang tampan juga sudah bersih dan wangi. Lantas dibaringkan di atas tubuh istriku.
“Gantengnya anakku...” gaung suara yang kudengar lamat-lamat dari istriku saat aku segera pergi untuk bersuci.
Kini aku sudah berdiri di dalam kamar, bersiap untuk mengumandangkan adzan di telinga kanan dan iqomah di telinga kiri—sebagai cara untuk mengsusir setan yang bisa merusak dan menyesatkan jalan hidup anakku. Selesai. Istriku langsung meminta agar anak kami diletakkan di atas dadanya lagi.
“Namanya siapa, Pak” tanya istriku dengan jelas, sehingga bapak dan ibunya terkesiap mendengarkan jawabanku.
“Mohamm...” seketika wajah mereka sedikit mengerut.
“….Mohammad Athar.” wajah mereka kembali cerah.
“Nama yang bagus!” jawab bapak mertua dengan menepuk bahu depanku.
Aku hanya tersenyum.
“Iya, namanya sangat bagus.” ibu mertua menimpali.
“Iya... bagus sekali, ini baru nama yang paling cocok untuk anak kita!” jawab istriku bahagia.
Senyumku kian mengembang. Surga kembali menyapa. Gita cinta terdengar lebih syahdu.
Ah, memang apa bedanya Mohammad Hatta dengan Mohammad Athar? Kalimatnya memang berbeda, tapi nyawa dan cintanya tetaplah sama.
Dalam hati aku pun berdoa. Semoga mereka tidak kecewa seandainya tahu kalau itu adalah nama kelahiran bapak Mohammad Hatta.
*****

Untuk Sahabatku, Arik.
Jakarta, 17 Mei 2013