Label

Jumat, 28 Desember 2012

Kesabaran adalah ilmu yang tidak ada habisnya





“Selama anaknya masih hidup, meski wajah telah berkerut, meski rambut telah beruban, dan masih ada pula sisa tenaganya, seorang ibu masih rela dan sanggup jadi hamba. Lalu kapan si anak hendak balas jasa?!”

Adalah seorang ibu dari dua anak laki-laki yang sedang merantau di Jakarta. Juga berstatus janda yang ditinggal mati oleh suaminya karena sakit. Meskipun usianya baru kepala empat, tetapi tidak juga Si Ibu ini punya niat untuk menikah lagi. Malah ia memilih mengabdikan diri menjadi istri yang setia. Tak pernah bosan menziarahi makam suaminya untuk berdoa dan membersihkannya. Mengajarkan ilmu cinta kepada anak-anaknya. Ada keinginan untuk melihat hidup anaknya dewasa kelak: bahagia dan bersahaja. Ada juga harapan untuk dapat menumpang hidup kepada anak pertamanya di usia senjanya nanti.

Tetapi, Si Ibu ini tahu betul cita-cita anaknya—yang tak jauh berbeda dengannya. Dimana rumah cinta yang menjadi peninggalan kakek dan neneknya sudah mulai rapuh dan tak bisa diandalkan lagi dalam segala cuaca. Lebih tua dari usia anak pertamanya. Ada juga untuk menyambung harapan ia meminta kepada anak pertamanya agar membawa istrinya ke rumah cinta yang jauh dari kata sederhana itu jika menikah nanti. Karenanya, apabila mendapatkan uang kiriman dari anak-anaknya, ia pun selalu menyisakan untuk sekedar membeli bahan-bahan bangunan, semampunya. Seperti yang sudah dilakukannya. Menganti pintu rumahnya, Mengganti beberapa lembar seng yang bocor, dan mengganti tiangnya yang keropos. Bahkan pagar gedeknya pun ditambal dengan tripleks tipis, walau hanya pada ruang kamar tidur saja.

Semua itu dilakukannya sebagai pengingat bagi anaknya bahwa rumah cinta adalah cita-cita pertamanya yang harus segera diwujudkan, sedangkan menulis dan taman baca adalah impiannya yang memang juga harus diperjuangkan walau berat dan susah. Karena itu ia tidak marah ataupun sedih ketika mengetahui bahwa anaknya membeli laptop dengan cara kredit untuk menggapai impianya itu. Malah ia rela korbankan perasaan saat ada saudara-saudaranya yang memiliki pemikiran lain—kalau itu hanya untuk gaya-gayaan saja.

Pernah, salah satu teman anaknya mengatakan; “anaknya mainan laptop ibunya menggendong karung!” pada Si Ibu ketika melihatnya pulang dari kebun teh sebagai kuli pemetik daun teh. Tetapi dengan tenang Si Ibu menjawab; 'biar berkah'.

Bicara soal berkah, entah kapan Si Ibu ini merasakannnya. Tetapi banyak yang ia contohkan kepada anaknya. Pernah anaknya marah karena ada tetangga yang menaruh barang di rumahnya. Kemudian kursi yang menjadi pengisi salah satu ruangan dalam rumah dipinjamnya pula. Tetapi Si Ibu itu tetap sabar dan menenangkan anaknya yang marah karena tersinggung; rumah ibunya bukan gudang. Akan tetapi, kini Si Ibu ini memilih tinggal (tidur, masak, mandi dll) di rumah bibinya yang juga sudah dianggap sebagai ibu kandungnya. Semua itu bukan karena menghindar dari saudara perempuannya (kakak) yang sedikit tidak waras dan suka mengamuk. Tetapi karena pengabdian kepada seorang bibi yang sudah dianggapnya sebagai ibu, itu.

Dengan sabar Si Ibu ini mengurus adik sepupunya (perempuan) yang sakit lumpuh. Memandikannya, memakaikan baju, menyuapi saat makan, mendudukkan di kursi, menidurkan di ranjang, juga mengurusnya saat dan setelah buang air—baik kcil maupun besar. Memang terkadang masih dibantu oleh orangtuanya—Si Bibi, tetapi ia tetap harus bersabar karena adik sepupunya yang lumpuh—kini juga mulai tuli. Bicaranya pun tak jelas dan sangat pelan. Mengurus orang seperti ini sangat butuh kesabaran dan kelemah lembutan, sebab perasaannya sangat mudah tergores jika ada gerakan sedikit keras saat mengurusnya. Apalagi juga tidak bisa ditinggal lama-lama, sehingga untuk sholat pun tak bisa pergi ke masjid untuk berjamaah. Tetapi Si Ibu ini tetap tekun.

Memang Tuhan itu Maha Tahu, tetapi Si Ibu ini juga harus tahu kalau anak pertamanya berhasil mewujudkan cita-citanya untuk rumah cinta, juga membawa istrinya sesuai yang diinginkannya, entah bagaimana nanti akhirnya. Apakah harus tetap tinggal di rumah bibinya untuk merawat adik sepupunya atau memilih tinggal bersama anak dan menantunya. Dan hanya Tuhan yang tahu apa yang selalu terucap dari bibirnya yang tak pernah bergincu.

Kini umur bibinya sudah tua, hampir 70 tahun, sedangkan adik sepupunya mungkin seumuran dengannya. Pun memiliki satu anak laki-laki yang baru mulai bekerja—merantau di Jakarta setelah lulus SMA. Dan entah bagaimana nanti jika salah satu putus usianya. Kecuali adik sepupunya lebih dulu, tetapi mana bisa umur dipinta? Jika yang lain, atau dirinya? Hanya Tuhan Yang Tahu, usia sudah jadi rahasia-Nya. Dan senjata utama untuk menjaga segala hal yang tak pasti jelas hanya kesabaran.

Kembali lagi ke kakak perempuannya yang sebenarnya tidak gila, hanya saja suka mengamuk itu. Jika pulang anak-anaknya nanti, maka Si Ibu ini harus menebalkan kesabarannya. Sebab, jika sampai cita-cita dan keinginannya dari anak pertamanya, maka ia harus berbagi ruangan dalam satu atap. Apa mungkin, menantunya akan menerima kedaan keluarganya? Bagaimana nasib anaknya? Lagi-lagi hanya Tuhan Yang Berkuasa. Dan menjalankan sebuah usaha serta berdoa sudah pasti dilakukannya, agar anak-anaknya mau menerima kenyataan bahwa hidup di dunia itu memang asing. Dunia adalah penjara bagi yang menghamba pada-Nya.

Hidup dalam ketidak sederhanaan memang terkadang menumbuhkan rasa malu jika tidak dapat menjaga diri dari hak kepemilikan. Tetapi Si Ibu ini amat sadar, bahwa malu adalah sebagian dari iman. Dan sutau kali pernah dibuat malu saat namanya disebutkan dalam suatu perbandingan besar kecilnya suatu nominal saat menyumbang untuk pembangunan masjid. Si Ibu ini dijadikan tolak ukur bagi mereka yang masih enggan beramal. Lebih besar sumbangannya daripada mereka yang kehidupannya terbilang lebih dari kata sederhana. Akan tetapi Si Ibu ini tetap ikhlas, tidak mennginkan sanjungan dari mereka yang mendengar semua itu. Dan tidak memikirkan berapa besar pahala yang akan didapatkannya.

Pahala memang tak terlihat, tapi—mungkin—bisa dirasa dengan adanya ketenangan. Sehingga Si Ibu ini pun tetap tenang saat menjalankan kehidupannya, saat meminjamkan juga memberikan sebagian yang dimilikinya, bahkan saat menerima ketentuannya yang terkadang tak sesuai harapan dan apa yang ia percayakan atas hal tersebut. Tetapi Si Ibu ini tetap percaya, bahwa Tuhan Maha Besar dan Maha Mengetahui apa-apa yang ada di balik semua rasa kekecewaannya: Kesabaran adalah ilmu yang tidak ada habisnya...