Label

Senin, 17 Juni 2013

Futsal Bisa Menjaga Silaturahmi

Rindu telah menjadi adat bagi seorang perantau. Meski sama-sama merantau di Jakarta tapi aku sangat rindu dengan teman-teman sekampungku. Apalagi aku tidak memiliki sepeda motor, sehingga aku tidak bisa datang ke tempat mereka secera bergilir, kapan saja. Malam hari saat selesai kerja atau siang hari jika sedang libur kerja. Sayangnya, kerjaku tidak punya hari pasti libur seperti hari Minggu atau tanggal merah (libur nasional). Ini sudah menjadi perjanjian antara aku dengan majikanku saat sebelum aku mulai masuk kerja. Bahkan setiap hari libur tanggal 1 Januari pada tahun baru aku selalu tidak bisa libur, aku harus mengalah dengan pembantu. Aku baru bisa libur tanggal dua, sehingga aku selalu kehilangan momen kebahagian bersama teman-temanku yang mengadakan kegiaatan atau sebuah pertemuan di salah satu tempat temanku tinggal atau di tempat wisata.

Aku menjadi tukang kebun menggantikan temanku. Meski disebut tukang kebun, tetapi menjaga rumah majikan juga salah satu tugas utamaku. Sehingga keluar malam tidak boleh lewat pukul sepuluh, jadi tidak bisa menginap saat main ke kontrakan teman. Kalau yang jaraknya jauh, sudah pasti tidak akan cukup waktu untuk perjalanan, main (silaturahmi), dan kembali pulang ke tempatku. Kalau pun dapat ijin libur, tetap saja tugas pagi harus dikerjakan. Dari mencuci mobil, menyiram taman, juga menyapu dan mengepel rumah. Intinya waktu libur hanya sebentar. Habis di perjalanan, menunggu angkutan umum dan pasti terjebak macet.

Aku masih ingat, kebanyakan teman-temanku punya hobi bersepak bola. Suatu hari aku pernah mengundang mereka untuk melawan tim temanku yang lain desa dan tinggalnya dekat dengan rumah majikanku. Aku bergabung—belajar bersamanya setiap Minggu sore pukul lima. Teman-teman sekampungku pun datang. Aku belajar dari sini, aku mencari tempat futsal yang dekat dengan tempatku bekerja. Alhamdulillah ada. Aku langsung menyewa satu jam untuk Minggu malam, pukul delapan sampai pukul sembilan. Aku memilih Minggu malam karena pada hari Minggu pasti teman-teman sekampungku libur, tidak begitu lelah karena pulang kerja seperti hari lainnya. Selain bermain futsal pasti aku akan mendapatkan berita atau kabar lainya yang tidak aku tahu karena kehilangan kontak. Aku langsung mengabari mereka, satu persatu, juga menyuruh mereka untuk mengabari teman yang lainnya.

Pada awalnya hanya bererapa orang saja yang mau datang. Sampai-sampai mereka (yang datang dan ikut bermain futsal) menjadi ogah-ogahan. Apalagi jatuhnya iuran sewa lapangan menjadi berat. Tapi karena ada yang tidak apatis, mau dan mengerti apa maksudku menyewa lapangan futsal, melakukan kegiatan yang bisa mendekatkan dan menyatukan—seperti tujuan dalam pertandingan futsal—kerjasama tim. Bahkan lebih dari itu. Setiap teman yang datang dari tempat yang berbeda selalu membawa kabar berita atau informasi yang berbeda pula. Seperti kabar adanya lowongan kerja. Bercanda sudah pasti. Tertawa mendengar kejadian-kejadian lucu yang belum pernah didengar sebelumnya, mengingat cerita masa kecil atau semasa bersama di kampung.

Aku, selaku penggagas, maka aku harus siap jika iuran sewa lapangan. Ini bukan resiko, melainkan pengorbanan. Dan akhirnya, semua itu benar-benar terwujud. Aku sangat bahagia, walau terkadang semua teman-teman sekampungku tidak bisa datang semua bersamaan. Aku juga tahu kalau mereka juga punya kepentingan atau kegiatan lainnya. Walau Minggu malam sekarang datang, kemudian Minggu malam selanjutnya tidak, atau bahkan sampai dua-tiga kali, tetapi setidaknya masih ada kontak langsung selain lewat telepon dan media sosial. Dengan futsal silaturahmi tetap terjaga.

Rabu, 05 Juni 2013

Nama Untuk Anak Pertamaku (Laki-laki)

Aku sangat bahagia. Telah lahir anak pertamaku, laki-laki. Ucapan selamat dari kerabat, sahabat, dan teman bisnis pun membuat aku seperti berada di surga, kebahagian yang tidak pernah aku alami sebelumnya. Kemana mataku memandang, cahaya tidak lari dan membuat segala ada jadi tersenyum. Kemana kakiku melangkah, angin meniupkan gita cinta. Merdu. Syahdu.
Kudekati istriku yang masih terbaring lemas di kamar persalinan. Sementara anakku sedang dimandikan oleh bidan. Dengan mesra aku berbisik kepada wanita yang telah menjadi pahlawan untuk satu nyawa cinta.
“Aku sudah punya siapkan nama untuk anak kita.”
“Siapa, Mas?” tanya istriku senang.
“Mohammad Hatta.”
“Kenapa harus Mohammad Hatta!? Kenapa tidak David Beckam, Ronaldo atau Messi, pemain sepak bola yang ganteng dan hebat? Atau Rossi, Pedrossa, Lorenzo—pembalap yang tangguh? Atau Romeo−kisahnya yang melegenda? Atau Choi Siwon, penyanyi pop Korea yang lagi populer? Atau yang lain—yang lebih keren!? Seperti Jon Bonjovi, rocker yang punya suara khas?” protes istriku sampai tidak mengambil napas jeda.
Aku bingung. Mulutku terasa pahit. Aku seperti berada hutan yang tengah kebakaran. Awan hitam tebal menyelimuti langit-langit hatiku, goncangan besar terasa di dalam dada, runtuhlah pasak mimpi yang kumiliki, seketika.
Aku berjalan keluar, lalu duduk di bangku bersama kedua mertuaku.
“Anakmu mau kamu kasih nama siapa?” tanya ibu mertuaku.
“Kalau kamu belum punya, aku ada nama yang bagus.” bapak mertua menyela.
“Mohammad Hatta.” jawabku tanpa memandang wajahnya.
“Apa kamu tidak salah? Kamu mau anakkmu nanti kalau sudah besar jadi seorang politikus? Aduh!” bapak mertua menepuk jidatnya, “Tidak ada nama lain yang lebih bagus lagi memangnya? Kenapa tidak kasih nama yang mirip ustad atau kyai saja...”
“Halah, bapak ini, mau ustad mau kyai sama saja kalau ujung-ujungnya cari istri muda. Kasih nama anak itu yang keren, biar jadi orang yang terkenal!” ibu mertuaku memberi usul.
Mereka pun mulai berdebat. Sama tidak mau kalah. Bahkan sidang DPR pun kalah ramai. Sementara aku hanya menunduk dan terdiam.
Kini aku seperti berada di tengah peperangan. Suara ledakan tiada henti saling bersahutan adu kesaksian, pendapat, dan harapan. Bapak mertuaku menerangkan semua yang ia ketahui, bahwa poligami itu tidaklah dosa. Ustad atau kyai juga sama-sama manusia. Ada yang benar-benar hidupnya ia serahkan untuk kemaslahatan umat, ada pula yang hanya sekedar cari nama. Ingin tenar dan disanjung-sanjung banyak orang. Kalau berpapasan di tengah jalan maunya ditegur lebih dulu. Mengejar dunia saja. Sementara Ibu mertuaku masih kukuh seperti kebanyakan perempuan yang lainnya, tidak mau dipoligami.
Ah, mereka terlalu sibuk dengan urusan yang susah dicerna jika tidak mau membuka logika. Bahkan terkadang logika pun tak bisa menyelesaikannya. Kalau hati dan pikiran tiada benar mau mengerti, beginilah jadinya. Tak ada selesainya, bisa dibawa ke mana-mana. Bisa-bisa kamar tak ubahnya penjara.
“Jadi siapa nama yang pas?” tanya Bapak mertua ke ibu mertua, lagi.
"Tadi kan sudah disebutkan!"
"Jangan yang itu."
"Bapak ini bagaimana? Minta pendapat tapi tidak mau mendengar!"
"Sama ibu juga begitu."
Akhirnya keduanya sama-sama diam.
Kini peperangan mulai reda. Mereka merasa aneh. Menatap aku hanya terdiam tertunduk. Membungkuk dalam pangkuan lutut yang tak lagi kuat untuk berlari meneriakkan gaung yang tercekit napas.
"Tadi sudah banyak nama-nama yang disebutkan. Menurutmu, siapa nama yang pas?" tanya bapak mertua dengan menepuk pundakku.
“Mohammad Hatta...”
“Ganti nama lain!” potongnya dengan tegas, tak membiarkan aku menyelesaikan nama yang kusebutkan. Pecinya pun hampir terjatuh karena kepalanya mendongak terlalu cepat.
“Memangnya seperti apa harapan cucu Bapak, kelak?”
“Intinya, aku ingin cucuku menjadi orang yang berguna bagi orang banyak juga agama, tentunya.”
“Kalau begitu jadi pengusaha saja, banyak harta dan bisa sedekah yang banyak.” potong Ibu mertua segera.
Aku jadi berpikir, jangan-jangan ibu martua menyetujuiku menikahi anak gadisnya hanya karena aku seorang pengusaha. Ya, walau hanya pengusaha batik yang terkadang ada naik turunnya.
Reflek, bapak mertua menatap istrinya yang duduk di sebelah kanannya. “Ibu ini, sukanya main potong. Dengarkan dulu kalau bapak mau bicara, tunggu sampai selesai.” balik menatapku yang duduk di sebelah kirinya. “Bapak ini lahir duluan daripada kamu...”
Aku menelan ludah.
“Bapak juga tahu sejarah pemimpin negeri ini. Termasuk Mohammad Hatta yang kamu sebutkan, wakil presiden yang pertama itu lahir dari keluarga ulama yang terkemuka, banyak pula jasanya bagi bangsa ini, tapi...”
“Tapi tidak mau kerja di perusahaan, makanya tidak bisa membeli sepatu Bally−idamannya itu. Bahkan sampai matinya pun tidak bisa membahagiakan istrinya yang ingin memiliki mesin jahit...” lagi-lagi ibu mertua menyela.
“Ibu ini, dengarkan bapak bicara dulu kenapa?”
“Memang begitu kenyataannya, bukan!?”
“Itu karena ia mau hidup sederhana, tidak mau merepotkan orang lain.”
“Kalau sederhana mana bisa membantu orang lain?”
“Bisa. Dengan ilmu, pemikiran dan kepandaiannya. Kalau jadi pejabat ya dengan kebijakannya.”
“Memang apa jasanya, Pak?”
“Salah satunya ya sebagai pelopor koperasi di negeri kita ini. Pemikirannya karena untuk menjaga rakyat agar tetap bisa bertahan dari perekonomian yang banyak menanggung resiko dari kebijakan pemerintah yang suka salah kaprah.”
“Iya, seperti pejabat sekarang yang banyak bicara dan banyak nipu rakyat−maksud bapak begitu?”
“Ah, ibu ini! Sukanya nonton berita, coba baca koran seperti bapak setiap pagi, jadi lebih lengkap pengetahuannya. Atau baca buku-bukunya.” wajahnya memberi isyarat, dipalingkan padaku yang punya beberapa buku sejarah.
“Sudah tua masih saja disuruh baca buku.” jawab ibu mertua dengan membetulkan posisi kaca matanya yang besar.
Bapak mertua jadi tersenyum kecil, dibungkus tawa yang tak dikeluarkan—melihat tingkah istrinya kalau sedikit marah.
Aku yakin kalau kedua mertuaku ini pasti tahu banyak tentang cerita ataupun sejarah Mohammad Hatta yang ingin aku ukirkan namanya sebagai doa untuk anakku yang baru lahir ini. Seperti nama bandara sebagai penghormatan atas jasa-jasanya bagi negeri ini. Tapi entah, apakah mereka juga tahu kalau namanya juga dipakai untuk nama jalan di negara Belanda, dengan nama Mohammed Hattastraat.
Aku akui, semua ini tidak lepas dari rasa rinduku pada negeri yang tercinta ini. Semoga ada pemimpin yang berintregitas tinggi—lagi. Aku pernah ingin menyalonkan diri sebagai anggota DPD di kotaku Pekalongan. Tapi, sayangnya aku tersendat oleh persyaratan yang diajukan partai yang akan mengusungku. Tak apalah, barangkali memang bukan jodohku. Sepertinya aku lebih berjodoh dengan usahaku yang belum begitu besar ini. Banyak persaingan yang cukup ketat pula, layaknya persaingan untuk bisa menjabat sebagai pejabat daerah ataupun pejabat tinggi. Kadang samapi ada tak-tik yang salah, tidak seharusnya dipakai.
Bidan yang membatu istriku dalam proses persalinan sudah kembali. Bayi laki-laki yang tampan juga sudah bersih dan wangi. Lantas dibaringkan di atas tubuh istriku.
“Gantengnya anakku...” gaung suara yang kudengar lamat-lamat dari istriku saat aku segera pergi untuk bersuci.
Kini aku sudah berdiri di dalam kamar, bersiap untuk mengumandangkan adzan di telinga kanan dan iqomah di telinga kiri—sebagai cara untuk mengsusir setan yang bisa merusak dan menyesatkan jalan hidup anakku. Selesai. Istriku langsung meminta agar anak kami diletakkan di atas dadanya lagi.
“Namanya siapa, Pak” tanya istriku dengan jelas, sehingga bapak dan ibunya terkesiap mendengarkan jawabanku.
“Mohamm...” seketika wajah mereka sedikit mengerut.
“….Mohammad Athar.” wajah mereka kembali cerah.
“Nama yang bagus!” jawab bapak mertua dengan menepuk bahu depanku.
Aku hanya tersenyum.
“Iya, namanya sangat bagus.” ibu mertua menimpali.
“Iya... bagus sekali, ini baru nama yang paling cocok untuk anak kita!” jawab istriku bahagia.
Senyumku kian mengembang. Surga kembali menyapa. Gita cinta terdengar lebih syahdu.
Ah, memang apa bedanya Mohammad Hatta dengan Mohammad Athar? Kalimatnya memang berbeda, tapi nyawa dan cintanya tetaplah sama.
Dalam hati aku pun berdoa. Semoga mereka tidak kecewa seandainya tahu kalau itu adalah nama kelahiran bapak Mohammad Hatta.
*****

Untuk Sahabatku, Arik.
Jakarta, 17 Mei 2013

Sampah Kemerdekaan (dalam buku antologi Palingan Wajah Garuda)


Aku tidak tahu apa artinya merdeka. Mungkinkah hanya kalimat untuk menyenangkan jiwa saja? Atau hanya sebuah kata yang mudah dibaca dan dituliskan saja? Aku tak paham dengan isi atau makna yang terdapat pada kata merdeka, sepenuhnya. Apakah benar aku sudah merdeka?
Aku masih mencari tahu, mencoba memahami apa itu merdeka. Aku hidup di negeri yang sudah lama merdeka, meskipun masih banyak orang mengatakan bahwa mereka belum merdeka. Mereka masih merasa terjajah! Terjajah hak dan kewajibannya. Hak untuk mendapatkan kemerdekaan dan kewajiban untuk memerdekakan haknya.
Aku coba mendekati samudra yang begitu luas di hati, pintu maaf yang katanya teramat mulia. Aku coba nikmati samudra yang begitu deras ombaknya, airmata dari tangis bahagia keihklasan menerima cobaan. Aku coba mencari pelangi yang katanya indah, penuh warna. Warna biru dari langit yang sebiru samudra, warna putih dari langit yang seputih asa, warna merah membatu yang terlihat kala sore−yang katanya menyakitkan mata jika terlalu lama memandangnya. Adapula warna kuning seperti janur yang menghiasi ruangan, memberi tanda pada tamu undangan saat hajatan. Atau warna kuning pada selembar kertas sebagai bendera duka. Bahkan ada warna hijau yang setegar rumput meski diterpa badai. Ditambah warna-warna lain yang tak terlihat, tertutup karena indahnya. Seperti warna hitam dari awan kala hujan hendak turun.
Apakah benar pelangi itu gambaran hidup?
Entah. Mungkin hanya sebagai hiasan. Lukisan atau tulisan untuk memenuhi lembaran kertas dan hendak dijual. Atau mungkin hanya sebagai dongeng penenang hati. Namun, ternyata begitu mudahnya membuat pelangi. Hanya menunggu datang terik mentari kemudian aku siramkan air dari atas ke bawah. Atau dari samping, kemudian aku melihat sebentuk pelangi itu.
Sangat mudah bukan?
Aku masih berbicara pada angin. Mencoba kabarkan duka padanya. Sebuah cerita dari hati yang terluka karena cinta. Cinta pada negeri yang menyebabkan kedangkalan pemikiran. Negeri ini memang benar kaya. Meski kekayaannya tak pernah aku punya. Tapi kekayaanku adalah kebersamaan, bersaudara. Dan aku ingin mencintai keluarga yang jauh, sanak saudara yang tak aku kenal dan tak pernah aku jumpai. Mereka yang berdarah sama bagai warna merah pada bendera yang berkibar di halaman rumahku, di kampung. Hanya saja warna benderanya mulai pucat. Terlalu lama diguyur hujan airmata dan dijemur dalam panasnya hati oleh ambisi kekuasaan. Ingin aku membeli yang baru.
Aku berharap angin akan kabarkan dukaku ini, agar semua tahu dan merasakannya. Aku masih asyik bercengkrama dengan debu. Berharap ia mampu menceritakan tentang lusuh dan baunya bajuku pada siapa saja. Serta jiwaku yang sama lusuh.
Debu, sampaikanlah pada apa dan siapa saja yang kau dekati. Janganlah kau salah ucap, harus sama dengan apa yang kau dengar dari mulutku, agar tak ada pemikiran yang salah dari mereka.
Aku lupa. Kenapa aku tidak mendengarkan cerita dari suara angin yang datang padaku. Adakah kabar duka atau bahagia dari saudara-saudaraku yang jauh disana. Kenapa aku tak mampu membaca pesan dari debu. Mungkin saja debu itu berasal dari puing-puing reruntuhan bangunan yang terkena bencana. Atau mungkin dari puing-puing reruntuhan bangunan akibat ledakan bom, atau kompor gas yang meledak, atau bahkan mungkin hanya karena terkena peluru meleset.
Banyak dari saudara-saudaraku yang tetidur dalam tikar keikhlasan, berselimut mimpi dan harapan, dingin menemani dan memaksa airmatanya mengalir membasuh telapak tangan sebelum menelan kepahitan hidup. Banyak dari teman-temanku yang tak dirindukan, dipotong masadepannya dan dicincang-cincang dengan hukum di mana tajamnya adalah sebentuk keserakahan atas kekuasaan.
Aku mencari tahu tentang kabar mereka. Kabar dari sahabatku, saudara dan keluargaku yang paling jauh dari belahan dunia. Hanya dekat saat aku melihat dari balik layar kaca, sewaktu aku mengintip di bangunan yang angkuh. Tak lama aku pun diusir mereka yang berseragam dan berbadan tegap seperti anjing si tuan yang doyan makan. Sungguh, ingin aku kesana. Seperti yang nampak jelas pada kertas kabar yang kudapat pagi tadi di bungkusan nasi. Ingin aku merasakan apa yang mereka alami. Tapi yang kualami ini pun rasanya lebih-lebih dari yang saudaraku alami.
Entahlah, sulit melukiskannya pada langit yang tiada mampu aku sampai pula di atasnhya. Hanya doa yang membelah langit. Akan tetapi langit-langit hati saudaraku sudah terlalu penuh dengan lukisan kenyataan yang tak sejalan dengan pesan kemerdekaan, kebahagian, keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan. Seakan kemerdekaan hanya diperuntukkan bagi mereka yang menjadi wakil. Sementara yang diwakilkan cukup mendengar dan merasakan kesengsaraan yang tiada tertahankan.
Aku menangis tanpa henti. Merasa saudara tapi tak bisa berbuat apa-apa. Kata-kata untuk memanjatkan doa ditelan dusta. Aku mengetahuianya, tapi aku hanya diam saja, bukankah itu dusta? Aku merasa saudara tapi aku hanya menangis melihatnya, bukankah itu dusta? Aku memang tak berharta tapi aku memiliki jiwa, tapi aku hanya berdiam diri melihatnya tanpa usaha membantunya, bukankah itu dusta? Aku tak mau terbunuh kemiskinanku, yang selalu melemahkan jiwa dan nuraniku. Aku ingin tegar berdiri; hidupku, jiwaku dan nurani, hingga mati yang mengakhiri!
Aku memang orang tak berpunya, tapi aku merasa merdeka. Aku merasa kaya. Karena aku masih bisa berfikir, bisa berbicara, bisa melangkah dan bisa memberikan apa saja asalkan mau mengusahakannya. Bukan begitu? Seperti yang kau tahu!
Aku datangi pusara Ayah beserta Ibuku, yang lama mati digerogoti penyakit, dan ketiadaan biaya untuk berobat membuat aku merasa tak bisa menjaganya. Terlebih kebodohanku ini yang tak pernah diasah dengan sifat guru yang kian menakutkan. Tak tentu lantaran gajinya habis untuk memberli bensin yang kini harganya tak lagi mau turun. Sementara namanya juga belum terdaftar di buku besar yang menjanjikannya akan mendapatkan tunjangan apabila ia sudah beruban nanti. Tak jarang mengikuti teman-temannya turun ke jalan memaksa angin dan api yang akhirmya merobohkan benteng hatinya yang tak bertanda jasa.
Hayya ‘alal-falaah... Hayya ‘alal-falaah..
Kumandang adzan meliuk-liuk di telingaku. Seketika dadaku bergetar kencang. Ada cinta yang tumbuh dalam hatiku. Kemenangan besar aku rasakan dalam hati. Datang kabar dari saudaraku yang lama tak jumpa, saudara yang sudah kunantikan cukup lama. Ia membawa berita untuk bisa bertemu saudara-saudara yang tak pernah jumpa, lainnya. Akan tetapi semuanya gagal. Hanya karena bus yang hendak aku naiki dibajak sekelompok anak muda. Aku tak begitu ingat wajah-wajah mereka yang memancarkan nyala api. Matanya bagai lampu senter milik pemburu babi di perkebunan kelapa sawit. Hanya saja sasaran mereka salah. Bukan babi yang mereka tumbangkan, hewan buruk rupa, rakus, buas, dan sebagai gambaran nafsu serta ambisi pada kekayaan yang teramat menyesatkan.
Kembali, adzan subuh terdengar, hal yang serupa aku rasa. Kupenuhi pangilan itu. Selepasnya kembali aku bekerja. Kudorong gerobak yang warnanya sama dengan seragam yang kukenakan. Sapu lidi dan pengki tak lupa aku bawa. Sepatu bot yang sobek pun masih kupakai. Biarlah tidak ada ganti, namun tetap menemaniku selama ini. Kesetiannya lebih pasti ketimbang janji-janji yang ada pada kain atau kertas yang melambai-lambai dan merusak pemandangan taman kota. Bahkan tak segan-segan melukai mahluk lain yang banyak memberikan manfaat. Meski hanya menaungi sesiapa yang berjalan atau duduk saat kesombongan matahari memuncak.
Terkadang malkluk yang ditancapi paku-paku itu juga menjadi sarang, pangkalan beberapa orang berseragam dan berpangkat. Dengan sigap menghentikan pengendara yang tidak mengikuti peraturan yang ada. Baik nyata tertulis atau bahkan dibuat-buat demi cacing yang kian kepanasan dan kelaparan dalam perutnya. Tapi entah kenapa mereka tak memberikan surat tilang pada kendaraan yang memiliki kesamaan tententu dengannya. Plat merah yang gagah dan merasa besar bagai gajah−dibiarkannya melangkah, padahal langkahnya adalah zadah.
Ah, aku baru saja menceritakan teman-temanku!
Aku harus tutup mulut, sebab angin yang berhembus dan mendengarkan celotehku ini membisikkan bahwa temanku yang lain sedang melangkah menujuku. Gadis yang biasa menikmati kesejukan dan keramahan taman di antara tinggi dan congkaknya gunung-gunung beton. Lantas ia duduk di bangku yang kemarin aku perbaiki.
“Aku ini anak merdeka, berjalan sendiri tanpa ragu, aku menikmati petualanganku...” ucapnya begitu membuka sebuah buku.
“Tak ada satupun manusia yang bisa berjalan sendiri, meskipun ia memiliki kaki sendiri, sebab langkah manusia bertumpu pada hati, dan hati selalu membutuhkan nasehat, atau bahkan caci maki dari manusia lain yang membuatnya semakin yakin dan kuat untuk menatap langkah selanjutnya.” potongku.
“Aku ini menyedihkan, aku merasa mampu karena Tuhan telah mengirimkan jiwa alam untuk mendampingiku.” ia menutup bukunya.
“Menyedihkan adalah mereka yang tak merdeka. Tak membebani hidupnya untuk kepentingan bersama demi hidup atau yang telah mati dan meninggalkan cinta.”
“Berjalan itu sendiri memberdayakan semesta-lah yang bersama.”
“Jangan berharap merdeka kalau belum mampu mengendalikan diri dan emosi yang menggebu-gebu untuk memerdekakan jiwa lain.”
“Merdeka itu artinya berjalan bergandengan, memungut puing persaudaraan yang tersisihkan kemajuan. Dan kesejahteraan akan terwujud jika kita mau berbagi pada yang membutuhkan. Memerdekakan jiwa tentu aku belum mampu, atau bahkan tak akan mampu.” aku sadar siapa aku, aku hanya seorang tukang sapu.
“Merdeka bagiku adalah bentuk pengendalian diri atau sugesti untuk tidak menciptakan batasan dan menghilangkan batasan.”
“Sesuai aturan, begitukah?”
“Berbicara tentang memerdekakan jiwa seperti berbicara tentang penciptaan alam semestinya. Akhirnya berhenti...”
“Maka berarti kepasarahan diri pada jiwa yang sudah ditetapkan, lillahi ta’ala...”
“Setelah berusaha tentunya.”
“Karena memang hidup itu usaha, berusaha untuk hidup selanjutnya.” kataku pelan.
“Ya, bisa jadi begitu.” memasukkan bukunya ke dalam tasnya, lalu beranjak.
Ah, aku tahu betul siapa dia. Ia gadis yang berbeda, pemikirannya selalu ia tuangkan ke lembar-lembar buku. Lantas ia memintaku untuk membacanya. Ia hanya gadis kuliahan yang menurutku berbeda. Ia sedang berjuang untuk masa depannya. Hidip dan pengabdiannya kelak. Kegalauannya karena negara dan segala rupa yang ada ini membuatnya harus bekerja keras merawat hati dan jiwanya. Berharap tingkah lakunya tiada membuatnya salah langkah.
“Oh iya, terimaksih, Pak! Mungkin besok sore aku akan ke sini lagi.” ucapnya sebelum melangkah meninggalkanku.
Ah, aku juga harus kembali bekerja. Daun-daun yang kering telah berjatuhan dan harus segera kukumpulkan dan kumasukkan ke dalam gerobak. Sebelum hujan mengasingkan aku dengan tanggung jawabku membersihkan sampah.


Puisi Puisi Pilihan (Karya Penulis Besar)

Buya Hamka___Nikmat Hidup

Setelah diri bertambah besar
di tempat kecil tak muat lagi,
Setelah harga bertambah tinggi
orang pun segan datang menawar,

Rumit beredar di tempat kecil
kerap bertemu kawan yang culas,
Laksana ombak di dalam gelas
diri merasai bagai terpencil,

Walaupun musnah harta dan benda
harga diri janganlah jatuh,
Binaan pertama walaupun runtuh
kerja yang baru mulailah pula,

Pahlawan budi tak pernah nganggur
khidmat hidup sambung bersambung,
Kadang turun kadang membumbung
sampai istirahat di liang kubur,

Tahan haus tahanlah lapar
bertemu sulit hendaklah tenang,
Memohon-mohon jadikan pantang
dari mengemis biar terkapar,

Hanya dua tempat bertanya
pertama tuhan kedua hati,
Dari mulai hidup sampai pun mati
timbangan insan tidaklah sama,

Hanya sekali singgah ke alam
sesudah mati tak balik lagi,
Baru rang tahu siapa diri
setelah tidur di kubur kelam,

Wahai diriku teruslah maju
di tengah jalan janganlah berhenti,
Sebelum ajal, janganlah mati
keridhaan Allah, itulah tuju,

Selama nampak tubuh jasmani
gelanggang malaikat bersama setan,
Ada pujian ada celaan
lulus ujian siapa berani,

Jika hartamu sudah tak ada
belumlah engkau bernama rugi,
Jika berani tak ada lagi
separuh kekayaan porak poranda,

Musnah segala apa yang ada
jikalau jatuh martabat diri,
Wajah pun muram hilanglah seri
ratapan batin dosa namanya,

Jikalau dasar budimu culas
tidaklah berubah kerana pangkat,
Bertambah tinggi jenjang di tingkat
perangai asal bertambah jelas,

Tatkala engkau menjadi palu
beranilah memukul habis-habisan,
Tiba giliran jadi landasan
tahanlah pukulan biar bertalu,

Ada nasihat saya terima
menyatakan fikiran baik berhenti,
sebablah banyak orang membenci
supaya engkau aman sentosa,

Menahan fikiran aku tak mungkin
menumpul kalam aku tak kuasa,
Merdeka berfikir gagah perkasa
berani menyebut yang aku yakin,

Celalah saya makilah saya
akan ku sambut bertahan hati,
Ada yang suka ada yang benci
hiasan hidup di alam maya

Emha Ainun Majid_Doa Sehelai Daun Kering

Jangankan suaraku, ya ‘Aziz
Sedangkan firmanMu pun diabaikan
Jangankan ucapanku, ya Qawiy
Sedangkan ayatMu pun disepelekan
Jangankan cintaku, ya Dzul Quwwah
Sedangkan kasih sayangMu pun dibuang
Jangankan sapaanku, ya Matin
Sedangkan solusi tawaranMu pun diremehkan
Betapa naifnya harapanku untuk diterima oleh mereka
Sedangkan jasa penciptaanMu pun dihapus
Betapa lucunya dambaanku untuk didengarkan oleh mereka
Sedangkan kitabMu diingkari oleh seribu peradaban
Betapa tidak wajar aku merasa berhak untuk mereka hormati
Sedangkan rahman rahimMu diingat hanya sangat sesekali
Betapa tak masuk akal keinginanku untuk tak mereka sakiti
Sedangkan kekasihMu Muhammad dilempar batu
Sedangkan IbrahimMu dibakar
Sedangkan YunusMu dicampakkan ke laut
Sedangkan NuhMu dibiarkan kesepian
Akan tetapi wahai Qadir Muqtadir
Wahai Jabbar Mutakabbir
Engkau Maha Agung dan aku kerdil
Engkau Maha Dahsyat dan aku picisan
Engkau Maha Kuat dan aku lemah
Engkau Maha Kaya dan aku papa
Engkau Maha Suci dan aku kumuh
Engkau Maha Tinggi dan aku rendah serendah-rendahnya
Akan tetapi wahai Qahir wahai Qahhar
Rasul kekasihMu ma’shum dan aku bergelimang hawaĆ­
Nabi utusanmu terpelihara sedangkan aku terjerembab-jerembab
Wahai Mannan wahai Karim
Wahai Fattah wahai Halim
Aku setitik debu namun bersujud kepadaMu
Aku sehelai daun kering namun bertasbih kepadaMu
Aku budak yang kesepian namun yakin pada kasih sayang dan pembelaanMu
Aku Mabuk Allah
aku mabuk Allah
semata-mata Allah
segala-galanya Allah
tak bisa lain lagi
aku mabuk Allah
lainnya tak berhak dimabuki
lainnya palsu, lainnya tiada
nyamuk tak nyamuk
kalau tak mengabarkan Allah
langit tak langit
kalau tak menandakan Allah
debu tak debu
badai tak badai
kalau tak membuktikan Allah
kembang yang mekar
api tak membakar
kalau tak Allah
mabuklah aku mabuk Allah
tak bisa lihat tak bisa dengar
cuma Allah cuma Allah
kalau matahari memancar
siapa sebenarnya yang menyinar
kalau malam legam
siapa hadir di kegelapan
kalau punggung ditikam
siapa merasa kesakitan
mabuklah aku mabuk Allah
kalau jantung berdegup
siapa yang hidup
kalau menetes puisi
siapa yang abadi
Allah semata
Allah semata
lainnya dusta
(1986)