Label

Selasa, 17 April 2012

Hidupmu Hidupku (dalam buku antologi Dear Mama #4, royalti untuk amal)





Ibu... bagaimana kabarmu? Semoga Allah subhanahu wata’ala selalu menjagamu.

Engkau pasti tahu, bahwa aku sangat merindukanmu. Disini, di Jakarta, kulangkahkan kaki, kugerakkan badan, dan kuhidupkan pikiran bersama ridhamu. Sesuai harapan untuk satu kisah cinta, untuk keluarga yang bahagia. Kita selalu bahagia, meski dalam keadaan hidup yang sangat sederhana, banyak kurangnya. Tapi keyakinanku akan nikmat-Nya, yang engkau tanamkan di hati ini, membuatku mampu melangkah dalam lautan duri yang menusuk sendi nurani. Di sini, aku masih mencoba mengukir bingkai-bingkai kehidupan untuk dijadikan kenangan yang indah dalam sepanjang perjalan. Terkadang kurasakan resah, galau dan lelah. Aku ingin jatuhkan tubuhku dalam pelukan hangatmu, tapi jarak antara Jakarta dan desa kita, selalu menjadi penghalang utama. Tapi aku bahagia saat aku pandangi gambar wajahmu yang cantik, secantik laku dan selembut belaian serta tutur katamu. Potret wajahmu kusimpan dalam lempitan dompetku, meski dompetku kusut dan bau. Maaf jika aku salah menempatkannya. Tapi, percayalah ibu, potretmu selalu kujaga dan kurawat denagn baik-baik.

Ibu... kerinduan ini semakin dalam, lebih dalam dari laut yang ditakuti penyelam. Lebih indah dari dalamnya laut yang selalu dibanggakan penyelam. Andai aku mampu selami hatimu, mungkin aku akan mengerti dengan apa aku menjamah cintamu. Tapi aku percaya, cintamu tak terbatas. Kecuali waktu yang telah ditetapkan-Nya, seperti waktu yang telah menetapkan cinta dari Ayah. Darimu aku pelajari cinta. Sebenar-benarnya cinta. Cinta terhadap Tuhan, keluarga, saudara, bahkan cintamu pada gambar tanggungjawabku, almarhum Ayah yang kuhormati dan kucintai. Darimu pula aku pelajari keramahan, kelembutan dan kehormatan. Aku selalu merindukan tarikan tanganmu di telingaku, saat aku mulai menghisap asap yang kejam ini. Aku belum bisa menepiskan kesukaan dan kebiasaanku berteman dengannya yang selalu menipuku ini. Aku juga rindu jepitan tanganmu di hidungku, saat aku masih lelap, sementara matahari mulai menunjukan sinarnya, yang masuk kedalam rumah melalui celah-celah dinding rumah yang terbuat dari bambu.

Ibu... sampai detik ini aku masih ingat satu permintaan yang menjadi kewajiban bagiku untuk memenuhinya. Sebentuk cinta yang akan menjaga kita dari dinginnya angin malam yang teramat dingin, dari teriknya sinar mentari kala siang, serta dari hujan yang datang baik dikala malam, siang bahkan pagi sekalipun. Yaitu; Rumah cinta, rumah yang menjadi dambaan kita. Surga kecil yang indah dan damai. Namun, hingga saat ini aku belum mampu mewujudkannya. Aku minta maaf Bu.. tapi, aku janji. Aku akan terus berusaha untuk mewujudkannya. Tak peduli meski harus kukorbankan masa mudaku. Karena aku percaya; dengan pengorbanan ini, maka akan ada bahagia dimasa tua. Aku tak iri pada teman-temanku yang memiliki sepeda motor dan bisa membonceng pacarnya, tapi aku selalu iri jika aku tak bisa menabung untuk rumah cinta. Aku akan sedih, karena hanya itu satu-satunya cara untuk mewujudkannya. Usaha yang menjadi kelanjutan setelah do’a dan bekerja. Engkau tak perlu takut. Aku pun masih sisihkan untuk kebutuhan kita saat ini. Akan aku cukupi semuanya, secukup syukur serta implementasinya. Karena cukup itu adanya di hati, bukan yang ada di bank, di dompet, di halaman, di rumah, di parkiran atau yang masih di dalam mimpi sekalipun. Dan untuk mimpi, cita-cintaku telah kugantungkan setinggi langit, agar menyatu dengan do’amu yang menuju kepada-Nya. Karena hanya Allah yang dapat mengabulkannya. Aku hanya berusaha, dan semoga Allah setuju dengan rencana-rencana baik kita, salah satunya; Rumah Cinta.

Ibu... Engkau adalah nafasku, semangat yang tak pernah padam, bekal tanggung jawab dalam kenyataanku. Engkau adalah jiwaku, akan kujaga sekuat raga ini, dan kutempatkan dalam ruangan teristimewa di hatiku. Engkau adalah pelangi hidupku, yang memberi arti dalam setiap langkah, seiring do’a penguat batinku. Engkau adalah gambar cintaku di hijaunya alam, yang sejukan pikiran, bersama senyuman awan yang tak lekang. Engkau adalah pelita, penerang gelapnya jalan yang terhampar jutaan penghalang dalam langkah hidupku. Engkau adalah keindahan, pelepas resah serta gundah yang tak pernah merasa jenuh atau pun lelah. Engkau adalah kebahagiaan, sebagai naungan dalam basah luka dan derita, pemancang keyakinan nuraniku. Engkau adalah hidupku, hidupku ada dalam ridhamu, maafkan segala salahku, akan kubalas semua kebaikanmu. Begitu luas samudra maafmu, begitu tulus kasih sayangmu, begitu dalam rasa cintamu, begitu kuat ikatan rindumu. Surga di telapak kakimu, betapa bodoh jika aku melupakanmu hanya untuk seorang wanita yang akan menjadi ibu untuk anak-anakku. Aku mencintaimu bagai mencintai kebenaran...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar