Label

Senin, 07 Januari 2013

Bukan Resolusi






Sedih itu ketika apa yang kucintai--untuk bahagia namun tertunda atau bahkan terhalangi. Lebih-lebih jika gagal!

Dan aku tidak terlalu sedih karena di awal bulan Januari ini yang juga awal tahun baru 2013 masehi--namun tidak dapat menabung seperti di awal-awal bulan biasanya sejak lima tahun yang lalu . Bukan karena tidak bisa, sebetulnya. Juga bukan karena tertunda. Lebih tepatnya menabung di tempat lain serta cara lain sebagai upaya menabung sebuah kepercayaan terhadap janji atas peduli. Meski tak dipungkiri hati ini cukup lelap ketika mata memadangi nominal yang tertera di buku tabungan yang sudah ganti—sementara tangan terus membuka setiap lembarnya hingga akhirnya berhenti pada keterangan sisa saldo akhir: seratus ribu rupiah.
Masih kuingat kebahagian yang kurasa pada saat pertama kali memiliki buku tabungan ini. Ada kebanggan dan juga keyakinan yang mulai tumbuh dengan sangat subur di hatiku, meski membuka rekeningnya hanya dengan uang tiga ratus ribu rupiah. Berjalan dengan tingkah aneh mirip anak laki-laki miskin dan jelek yang baru saja melamar gadis pujaannya namun diterima dengan tulus apa adanya. Tidak peduli pada sekeliling seakan hanya sendiri berjalan di atas pelangi kala menuju nirwana yang dimimpikan. Dan tersadar setelah jatuh ke bidang sawah yang baru selesai dicangkul pasca musim panen padi—karena terkaget saat Pak Tua menyapa.
Tanpa harus kupamerkan senyumku—pun tahu bahwa senyumanku tak jauh berbeda dengan senyumannya sebagai seorang petani yang sukses panen padi. Sebab hujan mampu membuat tanah—sawahnya menjadi tempat tinggal yang pantas bagi milyaran gabah yang telah disemaikankannya dengan segala usaha; dari tenaga sampai modal yang diadakannya. Namun, hujan sore ini seperti membuyarkan pandanganku pada lukisan cinta dan impian yang selama ini kubangun dan kupercaya dengan segala usaha. Baik dari tenaga juga modal yang selalu kuadakan; menyisakan uang dari gaji bulanan meski hanya lima puluh ribu rupiah.
Tetapi pikiranku masih tajam dengan ingatan ini. Uang yang kutabung selama lima tahun ada pada beberapa orang hingga semuanya berjumlah tiga belas juta rupiah. Hanya saja tidak tahu kapan pasti uang itu akan tertera dalam buku tabunganku atau mungkin ada di kedua telapak tanganku agar merasakan bagaimana rasanya membawa uang sebanyak itu. Padahal, dulu saat pertama kali membuka rekening, selalu kukatan dalam hati dan sering kuulangi sehingga menjadi benteng pertahanan: uang yang sudah masuk ke tabungan tidak boleh dipinjamkan!
Namun, dengan begitu saja benteng pertahananku runtuh saat mendengar ada yang butuh dan pantas dipinjami karena untuk hal baik, bahkan mulia. Dengan cepat kuambil sejumlah yang dibutuhkannya. Karena susahnya jika saat butuh dan mendadak seperti ini—mengambil, mungkin dengan ATM lebih memudahkannya karena tidak perlu mengantri panjang dengan alat utama sebuah potongan kertas bernomor. Apalagi jika butuh mendadak—mengambil pada waktu malam, tidak khawatir karena Bank sudah tutup sementara mesin ATM masih ada dan terbuka. Hanya butuh kewaspadaan. Proses transaksi tranfers pun lebih mudah dan cepat walau berbeda Bank.
Jika memang ini penyebab utamanya—karena kemudahan yang sebenarnya tidak terlalu kubutuhkan, kurasa terlalu bodoh jika dijadikan alasan. Sebab itu semua adalah suatu hal yang memang pantas dan harus dimiliki selayaknya menyimpan uang dalam saku. Dan dengan mudah kupindahkan uangku ke rekening mereka yang membuat hatiku sakit saat tahu alasan—yang menjadikan beban dalam pikiran bahwa ini kulakukan demi ikatan. Juga lingkaran yang memutar tanpa putus, kecuali keyakinanku yang tumbuh subur karena kepercaayan pada hal itu—mereka abaikan.
Sebagai tukang kebun, terkadang memang ada sedikit senyum kering jika datang hal itu dari mereka yang sebenarnya lebih pantasnya aku yang butuh--diberi hal itu olehnya karena status hidup dan juga pekerjaannya. Namun, status dunia memang terkadang hanya sebuah figura yang dapat membuat sebuah gambar bisa terlihat lebih bagus. Dan jika figura itu dilepas, maka datang senyum kering kerontang karena terlalu lama mulut membuka dan gelengan kepala membuat pusing memikirkannya.
Pernah gitarku dibawa—dipinjam teman, namun ternyata dijual. Dan nama baik keluarganya pun menjadi figura yang dapat membungkam mulutku. Kini, telepon dan SMS mulai datang tanpa peduli waktu ke HP-ku yang kini tak dapat kupakai karena rusak dan aku mulai bosan jika akan banyak datang lagi. Mendekat hanya saat butuh. Juga banyak lagi yang tak bisa kuuraikan atas nama kebaikan yang harus kujaga.Ya, setidaknya itu suatu bukti bahwa aku masih diingat.Tetapi aku sadar, bungkamku ini adalah dosa. Tidak mengingatkannya karena malu jika datang suatu hal layaknya ulat yang merusak bunga yang kurawat. Sebab ulat itu akan jadi kupu-kupu andai malu itu datangnya dari mereka, sebab malu merupakan sebagian dari iman.
Sebenarnya, aku pun butuh HP untuk hubungan lain yang terkadang menjadi penting. Namun, ini lebih penting sebab malunya dia memang pantas jadi alasan yang membuat kelapang hati ini untuk mengalah. Apalagi dia adikku, bagaimana mungkin aku akan mengabaikannya? Kecuali aku kejam. Dia sudah memilihku sebagai sambungan harapannya ketimbang meminjam pada saudara lainnya yang sebenarnya jauh lebih tepat dan pantas. Gambar hidupnya ada dalam figura indah dan mewah.
Dan ini mungkin akan terasa atau terlihat kejam, sebab usiaku tak lagi memungkinkan untuk menunggu lebih lama datangnya sebuah kebahagian atas impian dan cinta. Sebab impian dan cintaku ini seharga puluhan juta. Aku harus melunasinya.
Mungkin, inilah saatnya untuk aku memikirkan diriku. Tetapi, aku tidak dapat lagi mebuat benteng pertahanan, kecuali aku benar-benar menjadi orang yang kejam. Sebab kuyakin ini semua hanya titipan, setidaknya menjadi bahagia atau tidak adalah bagaimana saat titipan itu datang dan cara apa untuk mengembaikannya. Lukisan ibuku masih aman dalam figura dunia yang berbeda, kesabarannya menunggu dan keikhlasannya menjadi guru terbaik dalam setiap hal. Seperti yang selalu ibu ucapkan; semoga jadi berkah.
Bulan ini menuju usiaku yang ke 24 tahun—kurang dua bulan lagi. Dan aku ingin sekali pada tahun 2014 nanti, sesuatu yang terserak pada mereka itu dapat kembali. Pada usiaku yang ganjil itu ingin sudah kumiliki rumah cinta, dan tahun selanjutnya impianku yaitu taman baca. Maka mulai awal bulan depan aku harus kembali menabung walau apapun alsannya. Sekecil apapun, pasti tetap ada manfaatnya. Juga menabung hal lain, yaitu tulisan yang juga menjadi sebagian dari impian. Memanfaatkan waktu luang walau lelah kerja sepanjang hari, siang dan malam mengkatkan leher pada majikan sebabagai satus kerja seorang tukang kebun dan juga penjaga rumah. Serta kacung!
Ah, bahkan tulisan ini pun bisa saja menjadi tabungan untuk catatan seorang tukan kebun yang harus kuingat, sebab ‘aku tidak gila’.
Jika memang hal ini adalah suatu ujian atas kepantasan hidup sebagi bukti karena-Nya, maka hanya bisa kukatakan bahwa ujian ini sama halnya dengan hujan. Jika jatuh pada tempat yang baik, maka akan datang hal baik selayaknya berkah bagi semua. Datang untuk yang hidup di tanah, sungai, hutan, laut, juga gunung. Atau datang dari mereka yang hidup di tanah, sungai, laut, hutan, juga gunung. Bahkan jika hujan turun berlebihan dan menimbulkan banjir, setidaknya akan mendatangkan kepedulian. Bagi yang tahu.

1 komentar: