Label

Minggu, 13 Januari 2013

Rumah Cinta dan Taman Baca


Saat kecil aku tidak tahu kalau besar nanti aku harus jadi apa. Yang kutahu kedua orangtuaku hanyalah petani kecil. Mereka hidup bahagia. Baik sebelum maupun sesudah aku—serta adikku ada. Rumah kecil yang berlantaikan tanah dan berpagarkan gedek adalah surga bagi generasi sebelum mereka. Rumah ini telah diwariskan dari Embahku kepada orangtuaku. Tetapi belum banyak yang diganti. Tiangnya yang keropos, gedeknya yang mulai rontok, daun pintu dan daun jendelanya yang hampir jatuh—masih setia menanti hingga kemampuan menghampiri. Dan kini, yang keempat adalah aku, sebagaimana permintaan ibuku; “Kalau kamu nikah istrimu ajak tinggal di rumah ini, jangan kamu yang ikut istrimu!”.

Sinar mentari pagi yang menembus masuk ke dalam rumah dari lubang anyaman bilah bambunya selalu memberikan semangat untuk mengabdikan diri dengan bekerja di sawah dan di ladang. Sekalipun milik orang lain. Jika malam turun hujan, maka paginya harus merapikan panci dan ember yang dipakai untuk menadah air hujan—agar tidak memperburuk pemandangan rumah. Sedangkan seng—atapnya berkarat akibat dicumbui musim dari waktu ke waktu. Tak jarang hujan yang turun di sore hari juga membuat aku bersih dan riang. Bersama teman-teman bertelanjang dada dan mandi di bawah pancuran air talang rumah-rumah tetangga. Setiap pulang sekolah aku akan mencari rumput. Sampai akhirnya aku temukan mimpiku, menjadi seorang petani seperti kedua orangtuaku.

Seiring berjalannya waktu, aku mulai bermimpi menjadi seorang tentara agar dapat menjadi orang yang berguna. Apalagi saat itu di kampungku belum ada yang menjadi tentara (sampai sekarang pun masih belum ada). Mungkin aku akan dapat mengangkat derajat keluargaku. Namun, setelah aku lulus SMP ternyata Tuhan hanya memberikan kesempatan untuk belajar tentang pengabdian dalam kehidupan di lingkungan tentara. Aku bekerja sebagai pelayan warung milik pamanku yang lokasinya berada di Markas Komandon Rayon Militer. Selang tujuh bulan aku pulang karena pamanku pindah ke Lampung. Dan di kampung aku mulai mengamalkan ilmu yang kudapat dari ayahku saat beliau masih hidup. Petani mungkin memang takdirku.

Setelah musim panen selesai aku pun kembali merantau dan bekerja pada sebuah pabrik roti. Bangun pukul dua dini hari dan langsung mulai bekerja hingga pukul lima sore. Sebab aku juga ikut majikanku mengantarkan rotinya kepada pedagang yang mengelilingkannya memakai gerobak. Tiba-tiba aku bermimpi ingin mandiri. Aku ingin memiliki gerobak bubur ayam. Maka aku mulai menuliskan peralatan apa saja yang aku butuhkan, juga tak lupa menggambar gerobaknya. Namun belum terwujud—karena baru mulai menabung aku malah keluar dan kembali bekerja sebagai penjual es tebu. Meski masih belum mandiri tetapi kupikir pekerjaan ini lebih baik.

Setelah tujuh bulan bertahan, dengan tabunganku aku mampu membeli sebuah gerobak es cendol berserta perlengkapan dapurnya. Juga sepeda, walau tidak bagus tetapi cukup membantu untuk menekan pengeluaran jika harus naik angkutan saat belanja ke pasar. Dan Tuhan memberikan aku cobaan dengan rejeki yang cukup mudah kudapatkan. Hanya saja aku lupa pada mimpi sebab tanggungjawab atas permintaan ibuku, istana kecil yang perlu diperbaiki agar aku tidak malu saat membawa seorang wanita ke dalam kehidupanku dan kehidupan keluargaku yang sangat tidak sederhana.

Akhirnya musim hujan datang dan aku terjatuh dalam lumpur penyesalan akibat kesalahan yang kubuat. Kabar pun sampai pada salah satu pamanku. Ia datang dan menawari aku untuk ikut berjualan bakso dengannya. Aku pun mulai menatap kembali mimpiku. Namun sayang, Tuhan memberikan aku pelajaran lain. Meski sama-sama berdagang tetapi rejekinya tidak sama. Dan kini aku bekerja sebagai tukang kebun. Memang ini jauh dari keinginanku untuk mandiri. Tetapi aku mencoba menikmati dan menekuni. Aku sadar, banyak mimpi-mimpiku yang belum terwujud. Tetapi apa aku tak boleh bermimpi lain—lagi?

Saat SMP aku suka menulis, dan kini aku ingin menuliskan cerita-cerita yang mungkin bisa dibagi dan diambil pelajarannya. Atau paling tidak bisa kujadikan pengingat agar aku tidak salah langkah kembali. Namun kini ada satu mimpi yang tidak muncul begitu saja. Saat aku pulang kampung, aku melewati balai desa yang dulu ada taman bacanya—yang sering kudatangi untuk membaca atau meminjam bukunya. Tetapi taman baca itu sudah hilang ditelan jaman yang katanya penuh kemajuan dan moderenisasi. Sampai-sampai tak ada lagi anak-anak kampungku yang cinta membaca seperti dulu. Pada malam harinya aku memberanikan diri untuk melihat taman baca yang dulu pernah ada itu. Ternyata buku-bukunya masih ditaruh di gudang—belakang balai desa dengan begitu saja. Sehingga buku-bukunya menjadi busuk. Sepertinya tak ada lagi yang perduli. Mungkin mereka lebih memilih berusaha untuk memajukan taraf kehidupannya demi cinta dan bakti kepada orangtua serta keluarganya—seperti aku.

Dan kini, aku pun beranikan diri untuk bermimpi menghidupkan dunia baca di kampungku. Tidak peduli meski aku dikatakan gila dan serakah dalam bermimpi. Karena setiap orang pasti memiliki satu kecintaan dalam hidup, dan gaya serta pola pikirnyalah yang akan mengantarkan pada kebutuhan. Menabung sudah menjadi kebutuhan, kurasa juga wajib. Aku ingin menabung segala hal yang baik, bukan hanya uang saja. Terlebih untuk menjadi seorang penulis; kebaikan hati, laku, dan pikir adalah sebentuk tabungan untuk buku yang akan dibentangkan pada saat aku benar-benar dicap sebagai penulis oleh Tuhanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar