Label

Rabu, 05 Juni 2013

Nama Untuk Anak Pertamaku (Laki-laki)

Aku sangat bahagia. Telah lahir anak pertamaku, laki-laki. Ucapan selamat dari kerabat, sahabat, dan teman bisnis pun membuat aku seperti berada di surga, kebahagian yang tidak pernah aku alami sebelumnya. Kemana mataku memandang, cahaya tidak lari dan membuat segala ada jadi tersenyum. Kemana kakiku melangkah, angin meniupkan gita cinta. Merdu. Syahdu.
Kudekati istriku yang masih terbaring lemas di kamar persalinan. Sementara anakku sedang dimandikan oleh bidan. Dengan mesra aku berbisik kepada wanita yang telah menjadi pahlawan untuk satu nyawa cinta.
“Aku sudah punya siapkan nama untuk anak kita.”
“Siapa, Mas?” tanya istriku senang.
“Mohammad Hatta.”
“Kenapa harus Mohammad Hatta!? Kenapa tidak David Beckam, Ronaldo atau Messi, pemain sepak bola yang ganteng dan hebat? Atau Rossi, Pedrossa, Lorenzo—pembalap yang tangguh? Atau Romeo−kisahnya yang melegenda? Atau Choi Siwon, penyanyi pop Korea yang lagi populer? Atau yang lain—yang lebih keren!? Seperti Jon Bonjovi, rocker yang punya suara khas?” protes istriku sampai tidak mengambil napas jeda.
Aku bingung. Mulutku terasa pahit. Aku seperti berada hutan yang tengah kebakaran. Awan hitam tebal menyelimuti langit-langit hatiku, goncangan besar terasa di dalam dada, runtuhlah pasak mimpi yang kumiliki, seketika.
Aku berjalan keluar, lalu duduk di bangku bersama kedua mertuaku.
“Anakmu mau kamu kasih nama siapa?” tanya ibu mertuaku.
“Kalau kamu belum punya, aku ada nama yang bagus.” bapak mertua menyela.
“Mohammad Hatta.” jawabku tanpa memandang wajahnya.
“Apa kamu tidak salah? Kamu mau anakkmu nanti kalau sudah besar jadi seorang politikus? Aduh!” bapak mertua menepuk jidatnya, “Tidak ada nama lain yang lebih bagus lagi memangnya? Kenapa tidak kasih nama yang mirip ustad atau kyai saja...”
“Halah, bapak ini, mau ustad mau kyai sama saja kalau ujung-ujungnya cari istri muda. Kasih nama anak itu yang keren, biar jadi orang yang terkenal!” ibu mertuaku memberi usul.
Mereka pun mulai berdebat. Sama tidak mau kalah. Bahkan sidang DPR pun kalah ramai. Sementara aku hanya menunduk dan terdiam.
Kini aku seperti berada di tengah peperangan. Suara ledakan tiada henti saling bersahutan adu kesaksian, pendapat, dan harapan. Bapak mertuaku menerangkan semua yang ia ketahui, bahwa poligami itu tidaklah dosa. Ustad atau kyai juga sama-sama manusia. Ada yang benar-benar hidupnya ia serahkan untuk kemaslahatan umat, ada pula yang hanya sekedar cari nama. Ingin tenar dan disanjung-sanjung banyak orang. Kalau berpapasan di tengah jalan maunya ditegur lebih dulu. Mengejar dunia saja. Sementara Ibu mertuaku masih kukuh seperti kebanyakan perempuan yang lainnya, tidak mau dipoligami.
Ah, mereka terlalu sibuk dengan urusan yang susah dicerna jika tidak mau membuka logika. Bahkan terkadang logika pun tak bisa menyelesaikannya. Kalau hati dan pikiran tiada benar mau mengerti, beginilah jadinya. Tak ada selesainya, bisa dibawa ke mana-mana. Bisa-bisa kamar tak ubahnya penjara.
“Jadi siapa nama yang pas?” tanya Bapak mertua ke ibu mertua, lagi.
"Tadi kan sudah disebutkan!"
"Jangan yang itu."
"Bapak ini bagaimana? Minta pendapat tapi tidak mau mendengar!"
"Sama ibu juga begitu."
Akhirnya keduanya sama-sama diam.
Kini peperangan mulai reda. Mereka merasa aneh. Menatap aku hanya terdiam tertunduk. Membungkuk dalam pangkuan lutut yang tak lagi kuat untuk berlari meneriakkan gaung yang tercekit napas.
"Tadi sudah banyak nama-nama yang disebutkan. Menurutmu, siapa nama yang pas?" tanya bapak mertua dengan menepuk pundakku.
“Mohammad Hatta...”
“Ganti nama lain!” potongnya dengan tegas, tak membiarkan aku menyelesaikan nama yang kusebutkan. Pecinya pun hampir terjatuh karena kepalanya mendongak terlalu cepat.
“Memangnya seperti apa harapan cucu Bapak, kelak?”
“Intinya, aku ingin cucuku menjadi orang yang berguna bagi orang banyak juga agama, tentunya.”
“Kalau begitu jadi pengusaha saja, banyak harta dan bisa sedekah yang banyak.” potong Ibu mertua segera.
Aku jadi berpikir, jangan-jangan ibu martua menyetujuiku menikahi anak gadisnya hanya karena aku seorang pengusaha. Ya, walau hanya pengusaha batik yang terkadang ada naik turunnya.
Reflek, bapak mertua menatap istrinya yang duduk di sebelah kanannya. “Ibu ini, sukanya main potong. Dengarkan dulu kalau bapak mau bicara, tunggu sampai selesai.” balik menatapku yang duduk di sebelah kirinya. “Bapak ini lahir duluan daripada kamu...”
Aku menelan ludah.
“Bapak juga tahu sejarah pemimpin negeri ini. Termasuk Mohammad Hatta yang kamu sebutkan, wakil presiden yang pertama itu lahir dari keluarga ulama yang terkemuka, banyak pula jasanya bagi bangsa ini, tapi...”
“Tapi tidak mau kerja di perusahaan, makanya tidak bisa membeli sepatu Bally−idamannya itu. Bahkan sampai matinya pun tidak bisa membahagiakan istrinya yang ingin memiliki mesin jahit...” lagi-lagi ibu mertua menyela.
“Ibu ini, dengarkan bapak bicara dulu kenapa?”
“Memang begitu kenyataannya, bukan!?”
“Itu karena ia mau hidup sederhana, tidak mau merepotkan orang lain.”
“Kalau sederhana mana bisa membantu orang lain?”
“Bisa. Dengan ilmu, pemikiran dan kepandaiannya. Kalau jadi pejabat ya dengan kebijakannya.”
“Memang apa jasanya, Pak?”
“Salah satunya ya sebagai pelopor koperasi di negeri kita ini. Pemikirannya karena untuk menjaga rakyat agar tetap bisa bertahan dari perekonomian yang banyak menanggung resiko dari kebijakan pemerintah yang suka salah kaprah.”
“Iya, seperti pejabat sekarang yang banyak bicara dan banyak nipu rakyat−maksud bapak begitu?”
“Ah, ibu ini! Sukanya nonton berita, coba baca koran seperti bapak setiap pagi, jadi lebih lengkap pengetahuannya. Atau baca buku-bukunya.” wajahnya memberi isyarat, dipalingkan padaku yang punya beberapa buku sejarah.
“Sudah tua masih saja disuruh baca buku.” jawab ibu mertua dengan membetulkan posisi kaca matanya yang besar.
Bapak mertua jadi tersenyum kecil, dibungkus tawa yang tak dikeluarkan—melihat tingkah istrinya kalau sedikit marah.
Aku yakin kalau kedua mertuaku ini pasti tahu banyak tentang cerita ataupun sejarah Mohammad Hatta yang ingin aku ukirkan namanya sebagai doa untuk anakku yang baru lahir ini. Seperti nama bandara sebagai penghormatan atas jasa-jasanya bagi negeri ini. Tapi entah, apakah mereka juga tahu kalau namanya juga dipakai untuk nama jalan di negara Belanda, dengan nama Mohammed Hattastraat.
Aku akui, semua ini tidak lepas dari rasa rinduku pada negeri yang tercinta ini. Semoga ada pemimpin yang berintregitas tinggi—lagi. Aku pernah ingin menyalonkan diri sebagai anggota DPD di kotaku Pekalongan. Tapi, sayangnya aku tersendat oleh persyaratan yang diajukan partai yang akan mengusungku. Tak apalah, barangkali memang bukan jodohku. Sepertinya aku lebih berjodoh dengan usahaku yang belum begitu besar ini. Banyak persaingan yang cukup ketat pula, layaknya persaingan untuk bisa menjabat sebagai pejabat daerah ataupun pejabat tinggi. Kadang samapi ada tak-tik yang salah, tidak seharusnya dipakai.
Bidan yang membatu istriku dalam proses persalinan sudah kembali. Bayi laki-laki yang tampan juga sudah bersih dan wangi. Lantas dibaringkan di atas tubuh istriku.
“Gantengnya anakku...” gaung suara yang kudengar lamat-lamat dari istriku saat aku segera pergi untuk bersuci.
Kini aku sudah berdiri di dalam kamar, bersiap untuk mengumandangkan adzan di telinga kanan dan iqomah di telinga kiri—sebagai cara untuk mengsusir setan yang bisa merusak dan menyesatkan jalan hidup anakku. Selesai. Istriku langsung meminta agar anak kami diletakkan di atas dadanya lagi.
“Namanya siapa, Pak” tanya istriku dengan jelas, sehingga bapak dan ibunya terkesiap mendengarkan jawabanku.
“Mohamm...” seketika wajah mereka sedikit mengerut.
“….Mohammad Athar.” wajah mereka kembali cerah.
“Nama yang bagus!” jawab bapak mertua dengan menepuk bahu depanku.
Aku hanya tersenyum.
“Iya, namanya sangat bagus.” ibu mertua menimpali.
“Iya... bagus sekali, ini baru nama yang paling cocok untuk anak kita!” jawab istriku bahagia.
Senyumku kian mengembang. Surga kembali menyapa. Gita cinta terdengar lebih syahdu.
Ah, memang apa bedanya Mohammad Hatta dengan Mohammad Athar? Kalimatnya memang berbeda, tapi nyawa dan cintanya tetaplah sama.
Dalam hati aku pun berdoa. Semoga mereka tidak kecewa seandainya tahu kalau itu adalah nama kelahiran bapak Mohammad Hatta.
*****

Untuk Sahabatku, Arik.
Jakarta, 17 Mei 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar