Label

Rabu, 05 Juni 2013

Sampah Kemerdekaan (dalam buku antologi Palingan Wajah Garuda)


Aku tidak tahu apa artinya merdeka. Mungkinkah hanya kalimat untuk menyenangkan jiwa saja? Atau hanya sebuah kata yang mudah dibaca dan dituliskan saja? Aku tak paham dengan isi atau makna yang terdapat pada kata merdeka, sepenuhnya. Apakah benar aku sudah merdeka?
Aku masih mencari tahu, mencoba memahami apa itu merdeka. Aku hidup di negeri yang sudah lama merdeka, meskipun masih banyak orang mengatakan bahwa mereka belum merdeka. Mereka masih merasa terjajah! Terjajah hak dan kewajibannya. Hak untuk mendapatkan kemerdekaan dan kewajiban untuk memerdekakan haknya.
Aku coba mendekati samudra yang begitu luas di hati, pintu maaf yang katanya teramat mulia. Aku coba nikmati samudra yang begitu deras ombaknya, airmata dari tangis bahagia keihklasan menerima cobaan. Aku coba mencari pelangi yang katanya indah, penuh warna. Warna biru dari langit yang sebiru samudra, warna putih dari langit yang seputih asa, warna merah membatu yang terlihat kala sore−yang katanya menyakitkan mata jika terlalu lama memandangnya. Adapula warna kuning seperti janur yang menghiasi ruangan, memberi tanda pada tamu undangan saat hajatan. Atau warna kuning pada selembar kertas sebagai bendera duka. Bahkan ada warna hijau yang setegar rumput meski diterpa badai. Ditambah warna-warna lain yang tak terlihat, tertutup karena indahnya. Seperti warna hitam dari awan kala hujan hendak turun.
Apakah benar pelangi itu gambaran hidup?
Entah. Mungkin hanya sebagai hiasan. Lukisan atau tulisan untuk memenuhi lembaran kertas dan hendak dijual. Atau mungkin hanya sebagai dongeng penenang hati. Namun, ternyata begitu mudahnya membuat pelangi. Hanya menunggu datang terik mentari kemudian aku siramkan air dari atas ke bawah. Atau dari samping, kemudian aku melihat sebentuk pelangi itu.
Sangat mudah bukan?
Aku masih berbicara pada angin. Mencoba kabarkan duka padanya. Sebuah cerita dari hati yang terluka karena cinta. Cinta pada negeri yang menyebabkan kedangkalan pemikiran. Negeri ini memang benar kaya. Meski kekayaannya tak pernah aku punya. Tapi kekayaanku adalah kebersamaan, bersaudara. Dan aku ingin mencintai keluarga yang jauh, sanak saudara yang tak aku kenal dan tak pernah aku jumpai. Mereka yang berdarah sama bagai warna merah pada bendera yang berkibar di halaman rumahku, di kampung. Hanya saja warna benderanya mulai pucat. Terlalu lama diguyur hujan airmata dan dijemur dalam panasnya hati oleh ambisi kekuasaan. Ingin aku membeli yang baru.
Aku berharap angin akan kabarkan dukaku ini, agar semua tahu dan merasakannya. Aku masih asyik bercengkrama dengan debu. Berharap ia mampu menceritakan tentang lusuh dan baunya bajuku pada siapa saja. Serta jiwaku yang sama lusuh.
Debu, sampaikanlah pada apa dan siapa saja yang kau dekati. Janganlah kau salah ucap, harus sama dengan apa yang kau dengar dari mulutku, agar tak ada pemikiran yang salah dari mereka.
Aku lupa. Kenapa aku tidak mendengarkan cerita dari suara angin yang datang padaku. Adakah kabar duka atau bahagia dari saudara-saudaraku yang jauh disana. Kenapa aku tak mampu membaca pesan dari debu. Mungkin saja debu itu berasal dari puing-puing reruntuhan bangunan yang terkena bencana. Atau mungkin dari puing-puing reruntuhan bangunan akibat ledakan bom, atau kompor gas yang meledak, atau bahkan mungkin hanya karena terkena peluru meleset.
Banyak dari saudara-saudaraku yang tetidur dalam tikar keikhlasan, berselimut mimpi dan harapan, dingin menemani dan memaksa airmatanya mengalir membasuh telapak tangan sebelum menelan kepahitan hidup. Banyak dari teman-temanku yang tak dirindukan, dipotong masadepannya dan dicincang-cincang dengan hukum di mana tajamnya adalah sebentuk keserakahan atas kekuasaan.
Aku mencari tahu tentang kabar mereka. Kabar dari sahabatku, saudara dan keluargaku yang paling jauh dari belahan dunia. Hanya dekat saat aku melihat dari balik layar kaca, sewaktu aku mengintip di bangunan yang angkuh. Tak lama aku pun diusir mereka yang berseragam dan berbadan tegap seperti anjing si tuan yang doyan makan. Sungguh, ingin aku kesana. Seperti yang nampak jelas pada kertas kabar yang kudapat pagi tadi di bungkusan nasi. Ingin aku merasakan apa yang mereka alami. Tapi yang kualami ini pun rasanya lebih-lebih dari yang saudaraku alami.
Entahlah, sulit melukiskannya pada langit yang tiada mampu aku sampai pula di atasnhya. Hanya doa yang membelah langit. Akan tetapi langit-langit hati saudaraku sudah terlalu penuh dengan lukisan kenyataan yang tak sejalan dengan pesan kemerdekaan, kebahagian, keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan. Seakan kemerdekaan hanya diperuntukkan bagi mereka yang menjadi wakil. Sementara yang diwakilkan cukup mendengar dan merasakan kesengsaraan yang tiada tertahankan.
Aku menangis tanpa henti. Merasa saudara tapi tak bisa berbuat apa-apa. Kata-kata untuk memanjatkan doa ditelan dusta. Aku mengetahuianya, tapi aku hanya diam saja, bukankah itu dusta? Aku merasa saudara tapi aku hanya menangis melihatnya, bukankah itu dusta? Aku memang tak berharta tapi aku memiliki jiwa, tapi aku hanya berdiam diri melihatnya tanpa usaha membantunya, bukankah itu dusta? Aku tak mau terbunuh kemiskinanku, yang selalu melemahkan jiwa dan nuraniku. Aku ingin tegar berdiri; hidupku, jiwaku dan nurani, hingga mati yang mengakhiri!
Aku memang orang tak berpunya, tapi aku merasa merdeka. Aku merasa kaya. Karena aku masih bisa berfikir, bisa berbicara, bisa melangkah dan bisa memberikan apa saja asalkan mau mengusahakannya. Bukan begitu? Seperti yang kau tahu!
Aku datangi pusara Ayah beserta Ibuku, yang lama mati digerogoti penyakit, dan ketiadaan biaya untuk berobat membuat aku merasa tak bisa menjaganya. Terlebih kebodohanku ini yang tak pernah diasah dengan sifat guru yang kian menakutkan. Tak tentu lantaran gajinya habis untuk memberli bensin yang kini harganya tak lagi mau turun. Sementara namanya juga belum terdaftar di buku besar yang menjanjikannya akan mendapatkan tunjangan apabila ia sudah beruban nanti. Tak jarang mengikuti teman-temannya turun ke jalan memaksa angin dan api yang akhirmya merobohkan benteng hatinya yang tak bertanda jasa.
Hayya ‘alal-falaah... Hayya ‘alal-falaah..
Kumandang adzan meliuk-liuk di telingaku. Seketika dadaku bergetar kencang. Ada cinta yang tumbuh dalam hatiku. Kemenangan besar aku rasakan dalam hati. Datang kabar dari saudaraku yang lama tak jumpa, saudara yang sudah kunantikan cukup lama. Ia membawa berita untuk bisa bertemu saudara-saudara yang tak pernah jumpa, lainnya. Akan tetapi semuanya gagal. Hanya karena bus yang hendak aku naiki dibajak sekelompok anak muda. Aku tak begitu ingat wajah-wajah mereka yang memancarkan nyala api. Matanya bagai lampu senter milik pemburu babi di perkebunan kelapa sawit. Hanya saja sasaran mereka salah. Bukan babi yang mereka tumbangkan, hewan buruk rupa, rakus, buas, dan sebagai gambaran nafsu serta ambisi pada kekayaan yang teramat menyesatkan.
Kembali, adzan subuh terdengar, hal yang serupa aku rasa. Kupenuhi pangilan itu. Selepasnya kembali aku bekerja. Kudorong gerobak yang warnanya sama dengan seragam yang kukenakan. Sapu lidi dan pengki tak lupa aku bawa. Sepatu bot yang sobek pun masih kupakai. Biarlah tidak ada ganti, namun tetap menemaniku selama ini. Kesetiannya lebih pasti ketimbang janji-janji yang ada pada kain atau kertas yang melambai-lambai dan merusak pemandangan taman kota. Bahkan tak segan-segan melukai mahluk lain yang banyak memberikan manfaat. Meski hanya menaungi sesiapa yang berjalan atau duduk saat kesombongan matahari memuncak.
Terkadang malkluk yang ditancapi paku-paku itu juga menjadi sarang, pangkalan beberapa orang berseragam dan berpangkat. Dengan sigap menghentikan pengendara yang tidak mengikuti peraturan yang ada. Baik nyata tertulis atau bahkan dibuat-buat demi cacing yang kian kepanasan dan kelaparan dalam perutnya. Tapi entah kenapa mereka tak memberikan surat tilang pada kendaraan yang memiliki kesamaan tententu dengannya. Plat merah yang gagah dan merasa besar bagai gajah−dibiarkannya melangkah, padahal langkahnya adalah zadah.
Ah, aku baru saja menceritakan teman-temanku!
Aku harus tutup mulut, sebab angin yang berhembus dan mendengarkan celotehku ini membisikkan bahwa temanku yang lain sedang melangkah menujuku. Gadis yang biasa menikmati kesejukan dan keramahan taman di antara tinggi dan congkaknya gunung-gunung beton. Lantas ia duduk di bangku yang kemarin aku perbaiki.
“Aku ini anak merdeka, berjalan sendiri tanpa ragu, aku menikmati petualanganku...” ucapnya begitu membuka sebuah buku.
“Tak ada satupun manusia yang bisa berjalan sendiri, meskipun ia memiliki kaki sendiri, sebab langkah manusia bertumpu pada hati, dan hati selalu membutuhkan nasehat, atau bahkan caci maki dari manusia lain yang membuatnya semakin yakin dan kuat untuk menatap langkah selanjutnya.” potongku.
“Aku ini menyedihkan, aku merasa mampu karena Tuhan telah mengirimkan jiwa alam untuk mendampingiku.” ia menutup bukunya.
“Menyedihkan adalah mereka yang tak merdeka. Tak membebani hidupnya untuk kepentingan bersama demi hidup atau yang telah mati dan meninggalkan cinta.”
“Berjalan itu sendiri memberdayakan semesta-lah yang bersama.”
“Jangan berharap merdeka kalau belum mampu mengendalikan diri dan emosi yang menggebu-gebu untuk memerdekakan jiwa lain.”
“Merdeka itu artinya berjalan bergandengan, memungut puing persaudaraan yang tersisihkan kemajuan. Dan kesejahteraan akan terwujud jika kita mau berbagi pada yang membutuhkan. Memerdekakan jiwa tentu aku belum mampu, atau bahkan tak akan mampu.” aku sadar siapa aku, aku hanya seorang tukang sapu.
“Merdeka bagiku adalah bentuk pengendalian diri atau sugesti untuk tidak menciptakan batasan dan menghilangkan batasan.”
“Sesuai aturan, begitukah?”
“Berbicara tentang memerdekakan jiwa seperti berbicara tentang penciptaan alam semestinya. Akhirnya berhenti...”
“Maka berarti kepasarahan diri pada jiwa yang sudah ditetapkan, lillahi ta’ala...”
“Setelah berusaha tentunya.”
“Karena memang hidup itu usaha, berusaha untuk hidup selanjutnya.” kataku pelan.
“Ya, bisa jadi begitu.” memasukkan bukunya ke dalam tasnya, lalu beranjak.
Ah, aku tahu betul siapa dia. Ia gadis yang berbeda, pemikirannya selalu ia tuangkan ke lembar-lembar buku. Lantas ia memintaku untuk membacanya. Ia hanya gadis kuliahan yang menurutku berbeda. Ia sedang berjuang untuk masa depannya. Hidip dan pengabdiannya kelak. Kegalauannya karena negara dan segala rupa yang ada ini membuatnya harus bekerja keras merawat hati dan jiwanya. Berharap tingkah lakunya tiada membuatnya salah langkah.
“Oh iya, terimaksih, Pak! Mungkin besok sore aku akan ke sini lagi.” ucapnya sebelum melangkah meninggalkanku.
Ah, aku juga harus kembali bekerja. Daun-daun yang kering telah berjatuhan dan harus segera kukumpulkan dan kumasukkan ke dalam gerobak. Sebelum hujan mengasingkan aku dengan tanggung jawabku membersihkan sampah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar